Senin, 27 Agustus 2012

KEPERAWATAN GAWAT DARURAT (KEGAWAT DARURATAN & KEKRITISAN) : FILOSOFI, KONSEP HOLISTIK & PROSES KEPERAWATAN

A. DEFINISI KGD :
Pelayanan profesional yg didasarkan pada ilmu keperawatan gawat darurat & tehnik keperawatan gawat darurat berbentuk pelayanan bio-psiko-sosio- spiritual yang komprehensif ditujukan pada semua kelompok usia yang sedang mengalami masalah kesehatan yang bersifat urgen , akut dan kritis akibat trauma, proses kehidupan ataupun bencana.
B. MATA AJAR KEPERAWATAN GAWAT DARURAT
AREA : Pra Rumah sakit dan Rumah sakit
KEMAMPUAN :Pengetahuan, Sikap & ketrampilan u/ memberikan ASKEP kegawatan & Kekritisan khususnya hal-hal yg terkait LIVE SAVING.
C. LINGKUP BAHASAN :
a. Konsep dasar KGD
b. Sisitem pelayanan KGD pra RS, Uit Gawat Darurat & prw Intensif.
c. Perawatan klien semua tk usia dng kegawatan sist : pernafasan, kardiovaskuler, persyarafan, pencernaan & endokrin, perkemihan, muskuloskeletal, reproduksi, jiwa & psikiatri
D. EMERGENCYNURSING ( KEPERAWATAN KRISIS )
a. DEFINISI EN : Sebuah area khusus / spesial dr keperawatan profesional yg melibatkan integrasi dari Praktek, Penelitian, Pendidikan profesional.
b. Praktek keperawatan emergency oleh seorang perawat profesional
c. FOCUS : Memberikan pelayanan secara episodik kpd pasien-pasien yg mencari terapi baik yg mengancam kehidupan , non krotical illness atau cedera.
d. INTI : Ditujukan pd esensi dr praktek emergency, lingkungan dimana hal tsb terjadi dan konsumen-konsumen keperawatan emergency.
e. EMERGENCY NURSES : RN profesional yg memiliki komitmen u/ menyelamatkan dan melaksanakan praktek keperawatan scr efektif.



E. EMERGENCY CARE
Pengkajian, diagnosis & terapi kep. yg dpt diterima baik aktual, potensial, tjd tiba-tiba atau urgen, masalah fisik atau psikososial dalam episodik primer atau akut yg mungkin memerlukan perawatan minimal atau tindakan support hidup, pendidikan u/ pasien atau orang terpenting lainnya, rujukan yg tepat dan pengetahuan ttg implikasi legal.
F. EMERGENCY CARE ENVIRONTMENT
Setting dimana pasien memerlukan intervensi oleh pemberi pelayanan kep emergency.
G. EMERGENCY PATIENT
1. Pasien dr segala umur dng diagnosa, tidak terdiagnosa atau maldiagnosis problem dng kompleksitas yg bervariasi.
2. Pasien-pasien yg memerlukan intervensi nyata dimana dpt terjadi perubahan status fisiologis atau psikologis scr cepat yg mungkin mengancam kehidupannya.
H. DIMENSI
Multidimensi meliputi : RESPONSIBILITIES, FUNCTION, ROLES, SKLILLS ( dng pengetahuan khusus )
1. KARAKTERISTIK UNIK PRAKTEK KEP. GADAR
a. Pengkajian, diagnosa, terai baik yg urgen / non urgen individual dari berbagai umur pasien walaupun dng data / informasi yg sangat terbatas
b. Triage & Prioritas
c. Persiapan bencana alam
d. Stabilisasi & resusitasi
e. Krisis intervensi u/ populasi ps yg UNIk spt korban kekerasan sexual
f. Pemberian perawatan pd lingkungan yg tidak terkontrol atau yg tidak dpt diprrediksikan
2. KERANGKA KERJA PROSES KEP. EN
a. TUJUAN
• Menyelamatkan hidup
b. PENGKAJIAN
 Pada sistem yg terganggu
 U/ memperbaiki kegagalan atau mempertahankan sistem
c. DIAGNOSIS
 Mencari perbedaan u/ menemukan tanda-tanda & gejala
d. PERENCANAAN
 Berdasarkan protokol dan prosedur
e. INTERVENSI
 Terapi ditujukan pd penanganan gejala krisis & stabilisasi ps.
 Diteruskan s/d pasien stabil u/ dpt pindah atau ditransportasikan ke unit lain atau meninggal
f. EVALUASI
 Dilakukan scr cepat u/ menilai keefektifan
Diposkan oleh RAMA HADI PUTRA di 21:05

Jumat, 24 Agustus 2012

Sistem Penagulangan Gawat Darurat Terpadu

Seputar Informasi Emergency Nursing
YOGYAKARTA – Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai risiko terhadap terjadinya pelbagai bencana alam antara lain Gempa bumi dan letusan gunung berapi karena terletak dalam rangkaian “Ring Of Fire” serta ada empat pusat zona aktif gunung berapi yaitu Zona Sunda, Minahasa, Halmahera, Banda, Risiko terjadinya Tsunami, maupun bencana-bencana jenis lain termasuk Emerging Infectious Disease. Disamping itu, di bidang pelayanan kesehatan, kita juga harus mengakui bahwa sistem jejaring pelayanan di fasilitas kesehatan belum terintegrasi secara optimal yang berakibat masih banyaknya keluhan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan khususnya di Instalasi Gawat Darurat.



Hal inilah yang disampaikan Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan dr. Supriyantoro, Sp.P, MARS sebagai pembicara pada Pidato Dies Natalis ke-65 Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, tanggal 04 Maret 2011.



Kesiapan IGD serta sistem pelayanan Gawat Darurat yang terpadu antara Fasilitas kesehatan satu dengan lainnya, akan memberikan nilai tambah dalam upaya peningkatan mutu pelayanan kesehatan, tidak hanya terhadap kasus Gawat Darurat sehari-hari, tetapi juga sekaligus kesiapan bila setiap saat terjadi bencana di wilayah Indonesia.

Didalam Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 5 tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2010 – 2014 tertera masalah pelayanan kesehatan lain yang perlu mendapat perhatian adalah antisipasi kebutuhan pelayanan kesehatan bagi penduduk di daerah rawan bencana dan didaerah rawan terjadinya rawan sosial. Letak geografis Indonesia yang terletak di antara dua lempeng bumi, rawan dengan terjadinya bencana alam. Tantangan ke depan adalah meningkatkan akses dan kualitas pelayanan kesehatan masyarakat melalui sarana dan fasilitas pelayanan kesehatan yang memadai untuk merespons dinamika karakteristik penduduk dan kondisi geografis.

Sejak tahun 2000 Kementerian Kesehatan RI telah mengembangkan konsep Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT) memadukan penanganan gawat darurat mulai dari tingkat pra rumah sakit sampai tingkat rumah sakit dan rujukan antara rumah sakit dengan pendekatan lintas program dan multisektoral. Penanggulangan gawat darurat menekankan respon cepat dan tepat dengan prinsip Time Saving is Life and Limb Saving. Public Safety Care (PSC) sebagai ujung tombak safe community adalah sarana publik/masyarakat yang merupakan perpaduan dari unsur pelayanan ambulans gawat darurat, unsure pengamanan (kepolisian) dan unsur penyelamatan. PSC merupakan penanganan pertama kegawatdaruratan yang membantu memperbaiki pelayanan pra RS untuk menjamin respons cepat dan tepat untuk menyelamatkan nyawa dan mencegah kecacatan, sebelum dirujuk ke Rumah Sakit yang dituju.

Pelayanan di tingkat Rumah Sakit Pelayanan gawat darurat meliputi suatu system terpadu yang dipersiapkan mulai dari IGD, HCU, ICU dan kamar jenazah serta rujukan antar RS mengingat kemampuan tiap-tiap Rumah Sakit untuk penanganan efektif (pasca gawat darurat) disesuaikan dengan Kelas Rumah Sakit.

Untuk meningkatkan kemampuan para pimpinan RS dalam manajemen penanggulangan gawat darurat dan bencana, Kementerian Kesehatan bersama ikatan profesi dan Persatuan Rumahsakit Seluruh Indonesia (PERSI) telah mengembangkan pelatihan HOPE (Hospital Preparedness for Emergency and Disaster) yang sampai saat ini telah diikuti oleh 802 manajemen rumah sakit. Dengan pelatihan tersebut maka diharapkan semua pimpinan RS dapat membuat dokumen perencanaan dalam penanggulangan bencana yang biasa disebut Hospital Disaster Plan (Hosdip) baik bencana di dalam rumah sakit (internal disaster) maupun bencana di luar rumah sakit (external disaster).

Kebijakan dan penanganan krisis pada kondisi Gawat Darurat dan Bencana, meliputi :

1. Reevaluasi dalam standarisasi model dan prosedur pelayanan Gawat Darurat & Bencana dipelbagai strata fasilitas kesehatan secara berjenjang serta reaktivasi jejaring antar fasilitas kesehatan satu dengan yang lain.

2. Perkuat kemampuan dan aksesibilitas pelayanan Gawat Darurat diseluruh fasilitas kesehatan dengan prioritas awal di daerah rawan bencana dan daerah penyangganya.

3. Peningkatan pengetahuan dan ketrampilan SDM di bidang Gawat Darurat dan manajemen Bencana secara berjenjang.

4. Penanganan krisis menitik beratkan pada upaya sebelum terjadinya bencana.

5. Optimalisasi pengorganisasian penanganan krisis (gawat darurat dan bencana) baik di tingkat pusat, propinsi, maupun kabupaten/kota dengan semangat desentralisasi/otonomi daerah serta memperkuat koordinasi dan kemitraan.

6. Pemantapan jaringan lintas program dan lintas sektoral dalam penanganan krisis.

7. Membangun jejaring sistem informasi yang terintegrasi dan online agar diperoleh data yang valid dan real time serta mampu memberikan pelbagai informasi tentang situasi terkini pada saat terjadi bencana.

8. Setiap korban akibat krisis diupayakan semaksimal mungkin untuk mendapatkan pelayanan kesehatan cepat, tepat dan ditangani secara profesional.

9. Memberdayakan kemampuan masyarakat (Community Empowerement) khususnya para stakeholder yang peduli dengan masalah krisis di bidang kesehatan dengan melakukan sosialisasi terhadap pengorganisasian, prosedur, sistem pelaporan serta dilibatkan secara aktif dalam proses perencanaan, monitoring dan evaluasi.

10. Pemantapan regionalisasi penanganan krisis untuk mempercepat reaksi tanggap darurat.

Guna mencapai SPDGT dan Penanggulangan Krisis akibat bencana, dilakukan upaya-upaya sebagai berikut :

1. Reevaluasi terhadap kemampuan dan sumber daya yang ada, serta sejauhmana sistem tersebut masih berjalan saat ini yang harus ditindaklanjuti dengan perencanaan dan prioritas dalam penganggarannya.

2. Revisi dan penyempurnaan terhadap peraturan pelaksanaan/pedoman, standar, SPO, pengorganisasian dan modul pelatihan untuk disesuaikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan kondisi lingkungan saat ini yang terkait dengan keterpaduan dalam penanganan gawat darurat dan manajemen bencana.

3. Meningkatkan upaya pencegahan, mitigasi dan kesiapsiagaan penanganan krisis dan masalah kesehatan lain.

4. Mendorong terbentuknya unit kerja untuk penanganan masalah krisis kesehatan lain di daerah.

5. Mengembangkan sistem manajemen penanganan masalah krisis dan masalah kesehatan lain hingga ke tingkat Desa. Setiap Provinsi dan Kabupaten/Kota berkewajiban membentuk satuan tugas kesehatan yang memiliki kemampuan dalam penanganan krisis dan masalah kesehatan di wilayahnya secara terpadu berkoordinasi.

6. Menyiapkan sarana dan prasarana yang memadai untuk mendukung pelayanan kesehatan bagi korban akibat krisis dan masalah kesehatan lain dengan memobilisasi semua potensi.

7. meningkatkan pemberdataan dan kemandirian masyarakat dalam mengenal, mencegah dan mengatasi krisis dan masalah kesehatan lain di wilayahnya.

8. Mengembangkan sistem regionalisasi penanganan krisis dan masalah kesehatan lain melalui pembentukan pusat-pusat penanganan regional.

9. Monitoring evaluasi secara berkesinambungan dan ditindak lanjuti dengan pelatihan dan simulasi untuk selalu meningkatkan profesional dan kesiap siagaan. Itu sebabnya diperlukan upaya untuk selalu meningkatkan kualitas dan kuantitas petugas melalui pendidikan dan latihan.

10. Pengembangan sistem e-health, secara bertahap disesuai dengan prioritas kebutuhan khususnya sistem informasi dan komunikasi.

11. Memperkuat jejaring informasi dan komunikasi melalui peningkatan intensitas pertemuan koordinasi dan kemitraan lintas program/lintas sektor, organisasi non Pemerintah, masyarakat dan mitra kerja Internasional secara berkala. Dengan berjalannya SPGDT tersebut, diharapkan terwujudlah Safe Community yaitu suatu kondisi/keadaan yang diharapkan dapat menjamin rasa aman dan sehat masyarakat dengan melibatkan peran aktif seluruh masyarakat khususnya dalam penanggulangan gawat darurat sehari-hari maupun saat bencana. Humas

Sumber:http://buk.depkes.go.id

Sabtu, 04 Juni 2011

PERAWAT MENDOMINASI TENAGA KESEHATAN

Perawat di Indonesia, jumlahnya paling banyak bila dibandingkan dengan tenaga kesehatan lainnya, sehingga perannya menjadi penentu dalam meningkatkan mutu pelayanan kesehatan baik di Puskesmas maupun di rumah sakit, ujar dr. Supriyantoro, Sp.P, MARS, Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan (BUK) Kemkes pada temu media di Jakarta tanggal 6 Mei 2011.

“Di era globalisasi dampaknya sangat besar, karena itu para perawat harus dapat bersaing secara profesional. Hal itu bisa dicapai, bila para perawat terus meningkatkan profesionalisme melalui pendidikan dan pelatihan”, ujar Dirjen BUK.

Diakui oleh Dirjen BUK bahwa, sebagian besar atau 80 persen perawat yang bekerja di rumah sakit vertikal berpendidikan Diploma III, Diploma IV 0,5 persen, Sarjana Strata Satu Keperawatan 1 persen, Ners 11 persen, dan Sarjana Strata Dua 0,4 persen. Sedangkan perawat yang berpendidikan Sekolah Perawat Kesehatan (SPK) sebanyak 7 persen.

Jumlah perawat di seluruh rumah sakit berdasarkan Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS Tahun 2000) sebanyak 107.029 orang. Sedangkan jumlah perawat yang bekerja di Puskesmas berdasarkan Profil Kesehatan Tahun 2009 berjumlah 52.753 orang.

Direktur Keperawatan dan Keteknisan Medis Ditjen BUK, Yuti Suhartati, S.Kp., M.Kes. menambahkan, tenaga keperawatan mempunyai kontribusi besar dalam mencapai kinerja Puskesmas dan Rumah Sakit. Karena itu, mutu tenaga perawat akan terus ditingkatkan profesionalismenya secara berkesinambungan.

Menurut Yuti Suhartati, program prioritas pelayanan keperawatan meliputi pengembangan sistem pemberian pelayanan keperawatan professional, pengembangan manajemen kinerja klinik bagi perawat dan bidan, penguatan emergency nursing terkait dengan bencana, pengembangan jenjang karir perawat rumah sakit, revitalisasi Perkesmas di Puskesmas dan jaringannya serta pengembangan pelayanan keperawatan keluarga.

Hari Perawat Sedunia

Berkaitan dengan peringatan Hari Perawat Sedunia atau International Nurses Day (IND) yang diperingati tanggal 12 Mei, akan dilakukan berbagai kegiatan. Tahun 2011, IND mengangkat tema Closing the Gap: Increasing Access and Equity Through Nursing Services. Tema ini menekankan, agar perawat berperan aktif mewujudkan pelayanan kesehatan yang setara dan adil, serta terjangkau masyarakat.

“Sebagai bagian dari komunitas dunia, perawat Indonesia juga turut memperingati IND. Peringatan tahun ini dikaitkan dengan tujuan pencapaian target MDGs serta percepatan pencapaian pelayanan kesehatan kelas dunia,” ujar Direktur Bina Pelayanan Keperawatan dan Keteknisan Medis.

Berbagai kegiatan telah dirancang diantaranya Silaturahmi Akbar Perawat Indonesia dengan tema “ Dalam Bangsa yang Sehat Terdapat Perawat yang Kuat”, Workshop Nasional Keperawatan, pengabdian masyarakat membentuk model keperawatan komunitas di 5 wilayah DKI Jakarta, Pameran Nasioal Keperawatan Indonesia, Lomba Foto Dokumen Keperawatan dan lain-lain.

Berita ini disiarkan oleh Pusat Komunikasi Publik, Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi melalui nomor telepon: 021-52907416-9, faks: 52921669, PTRC: 021-500567,
"APALAGI YANG KITA TUNGGU AYO REKAN-REKAN PERAWAT SEKALIAN SATUKAN HATI SERUHKAN SAHKAN RUU KEPERAWATAN SECEPATNYA ATAU PERAWAT AKAN BERTINDAK......."

Senin, 13 September 2010

ASKEP SECTIO CAESARIA lanjutan

Askep Sectio Caesarea
(Seksio Sesaria)

.

Pengertian Sectio Caesaria (Seksio Sesaria)

Ada beberapa pengertian mengenai sectio caesaria :

Sectio caesaria adalah suatu cara melahirkan janin dengan sayatan pada dinding uterus melalui dinding depan perut. (Rustam Mochtar, 1992).

Sectio caesaria adalah suatu persalinan buatan dimana janin dilahirkan melalui suatu insisi pada dinding depan perut dan dinding rahim dengan syarat rahim dalam keadaan utuh serta berat janin di atas 500 gram (Sarwono, 1991).

askep-scJadi operasi Seksio Sesaria ( sectio caesarea ) adalah suatu pembedahan guna melahirkan janin ( persalinan buatan ), melalui insisi pada dinding abdomen dan uterus bagian depan sehingga janin dilahirkan melalui perut dan dinding perut dan dinding rahim agar anak lahir dengan keadaan utuh dan sehat.

Indikasi Sectio Caesaria

Operasi sectio caesarea dilakukan jika kelahiran pervaginal mungkin akan menyebabkan resiko pada ibu ataupun pada janin, dengan pertimbangan hal-hal yang perlu tindakan SC proses persalinan normal lama/ kegagalan proses persalinan normal ( Dystasia )

Indikasi sectio caesaria pada Ibu

Disproporsi cevalo-pelvik ( ketidakseimbangan antar ukuran kepala dan panggul )

Disfungsi uterus

Distosia jaringan lunak

Plasenta previa

His lemah / melemah

Rupture uteri mengancam

Primi muda atau tua

Partus dengan komplikasi

Problema plasenta

Indikasi Sectio Caesaria Pada Anak

Janin besar

Gawat janin

Janin dalam posisi sungsang atau melintang

Fetal distress

Kalainan letak

Hydrocephalus

Kontra Indikasi Sectio Caesaria :

Pada umumnya sectio caesarian tidak dilakukan pada janin mati, syok, anemi berat sebelum diatasi, kelainan kongenital berat (Sarwono, 1991)

Jenis - Jenis Operasi Sectio Caesarea

1. Abdomen (sectio caesarea abdominalis)

a. Sectio caesarea transperitonealis

SC klasik atau corporal (dengan insisi memanjang pada corpus uteri)

Dilakukan dengan membuat sayatan memanjang pada korpus uteri kira-kira 10 cm.

Kelebihan :

* Mengeluarkan janin dengan cepat
* Tidak mengakibatkan komplikasi kandung kemih tertarik
* Sayatan bisa diperpanjang proksimal atau distal

Kekurangan

* Infeksi mudah menyebar secara intra abdominal karena tidak ada reperitonealis yang baik
* Untuk persalinan yang berikutnya lebih sering terjadi rupture uteri spontan
* SC ismika atau profundal (low servical dengan insisi pada segmen bawah rahim)

b. SC ektra peritonealis yaitu tanpa membuka peritoneum parietalis dengan demikian tidak membuka cavum abdominal

Dilakukan dengan melakukan sayatan melintang konkat pada segmen bawah rahim (low servical transversal) kira-kira 10 cm

Kelebihan :

* Penjahitan luka lebih mudah
* Penutupan luka dengan reperitonealisasi yang baik
* Tumpang tindih dari peritoneal flap baik sekali untuk menahan penyebaran isi uterus ke rongga peritoneum
* Perdarahan tidak begitu banyak
* Kemungkinan rupture uteri spontan berkurang atau lebih kecil

Kekurangan :

* Luka dapat melebar kekiri, kanan, dan bawah sehingga dapat menyebabkan uteri pecah sehingga mengakibatkan perdarahan banyak
* Keluhan pada kandung kemih post operasi tinggi

2. Vagina (section caesarea vaginalis)

Menurut sayatan pada rahim, sectio caesarea dapat dilakukan sebagai berikut (Mochtar, Rustam, 1992) :

1. Sayatan memanjang ( longitudinal )

2. Sayatan melintang ( Transversal )

3. Sayatan huruf T ( T insicion )

Prognosis Operasi Sectio Caesarea

Pada Ibu

Dulu angka morbiditas dan mortalitas untuk ibu dan janin tinggi. Pada masa sekarang oleh karena kemajuan yang pesat dalam tehnik operasi, anestesi, penyediaan cairan dan darah, indikasi dan antibiotika angka ini sangat menurun.

Angka kematian ibu pada rumah-rumah sakit dengan fasilitas operasi yang baik dan oleh tenaga - tenaga yang cekatan adalah kurang dari 2 per 1000.

Pada anak

Seperti halnya dengan ibunya, nasib anak yang dilahirkan dengan sectio caesaria banyak tergantung dari keadaan yang menjadi alasan untuk melakukan sectio caesaria. Menurut statistik di negara - negara dengan pengawasan antenatal dan intra natal yang baik, kematian perinatal pasca sectio caesaria berkisar antara 4 hingga 7 %. (Sarwono, 1999).

Komplikasi Operasi Sectio Caesarea

Kemungkinan yang timbul setelah dilakukan operasi ini antara lain :

1. Infeksi puerperal ( Nifas )

- Ringan, dengan suhu meningkat dalam beberapa hari

- Sedang, suhu meningkat lebih tinggi disertai dengan dehidrasi dan perut sedikit kembung

- Berat, peritonealis, sepsis dan usus paralitik

2. Perdarahan

- Banyak pembuluh darah yang terputus dan terbuka

- Perdarahan pada plasenta bed

3. Luka kandung kemih, emboli paru dan keluhan kandung kemih bila peritonealisasi terlalu tinggi

4. Kemungkinan rupture tinggi spontan pada kehamilan berikutnya

Pemeriksaan Diagnostik

Pemantauan janin terhadap kesehatan janin

Pemantauan EKG

JDL dengan diferensial

Elektrolit

Hemoglobin/Hematokrit

Golongan darah

Urinalisis

Amniosentesis terhadap maturitas paru janin sesuai indikasi

Pemeriksaan sinar x sesuai indikasi.

Ultrasound sesuai pesanan

(Tucker, Susan Martin, 1998)

Asuhan Keperawatan Sektio Caesaria

1. Devisit Volume Cairan b.d Perdarahan

Tujuan: Tidak terjadi devisit volume cairan, seimbang antara intake dan

output baik jumlah maupun kualitas.

Intervensi:

a.Kaji kondisi status hemodinamika.

R/ Pengeluaran cairan akibat operasi yang berlebih merupakan faktor utama masalah.

b.Ukur pengeluaran harian.

R/ Jumlah cairan ditentukan dari jumlah kebutuhan harian ditambah dengan jumlah cairan yang hilang selama masa post operasi dan harian.

c.Berikan sejumlah cairan pengganti harian.

R/ Tranfusi mungkin diperlukan pada kondisi perdarahan masif.

d.Evaluasi status hemodinamika.

R/ Penilaian dapat dilakukan secara harian melalui pemeriksaan fisik.

2. Gangguan Aktivitas b.d kelemahan, penurunan sirkulasi

Tujuan: Kllien dapat melakukan aktivitas tanpa adanya komplikasi

Intervensi:

a.Kaji tingkat kemampuan klien untuk beraktivitas.

R/ Mungkin klien tidak mengalami perubahan berarti, tetapi perdarahan masif perlu diwaspadai untuk menccegah kondisi klien lebih buruk.

b.Kaji pengaruh aktivitas terhadap kondisi luka dan kondisi tubuh umum.

R/ Aktivitas merangsang peningkatan vaskularisasi dan pulsasi organ reproduksi, tetapi dapat mempengaruhi kondisi luka post operasi dan berkurangnya energi.

c.Bantu klien untuk memenuhi kebutuhan aktivitas sehari-hari.

R/ Mengistiratkan klien secara optimal.

d.Bantu klien untuk melakukan tindakan sesuai dengan kemampuan/kondisi klien.

R/ Mengoptimalkan kondisi klien, pada abortus imminens, istirahat mutlak sangat diperlukan.

e.Evaluasi perkembangan kemampuan klien melakukan aktivitas.

R/ Menilai kondisi umum klien.

3. Gangguan rasa nyaman : Nyeri b.d luka post operasi

Tujuan: Klien dapat beradaptasi dengan nyeri yang dialami.

Intervensi:

a.Kaji kondisi nyeri yang dialami klien.

R/ Pengukuran nilai ambang nyeri dapat dilakukan dengan skala

maupun dsekripsi.

b.Terangkan nyeri yang diderita klien dan penyebabnya.

R/ Meningkatkan koping klien dalam melakukan guidance mengatasi nyeri.

c.Ajarkan teknik distraksi.

R/ Pengurangan persepsi nyeri.

d.Kolaborasi pemberian analgetika.

R/ Mengurangi onset terjadinya nyeri dapat dilakukan dengan pemberian analgetika oral maupun sistemik dalam spectrum luas/spesifik.

4. Resiko tinggi Infeksi b.d perdarahan, luka post operasi.

Tujuan: Tidak terjadi infeksi selama perawatan perdarahan dan luka

operasi.

Intervensi:

a.Kaji kondisi keluaran/dischart yang keluar ; jumlah, warna, dan bau dari luka operasi.

R/ Perubahan yang terjadi pada dischart dikaji setiap saat dischart keluar. Adanya warna yang lebih gelap disertai bau tidak enak mungkin merupakan tanda infeksi.

b.Terangkan pada klien pentingnya perawatan luka selama masa post operasi.

R/ Infeksi dapat timbul akibat kurangnya kebersihan luka.

c.Lakukan pemeriksaan biakan pada dischart.

R/ Berbagai kuman dapat teridentifikasi melalui dischart.

d.Lakukan perawatan luka.

R/ Inkubasi kuman pada area luka dapat menyebabkan infeksi.

e.Terangkan pada klien cara mengidentifikasi tanda inveksi.

R/ Berbagai manivestasi klinik dapat menjadi tanda nonspesifik infeksi; demam dan peningkatan rasa nyeri mungkin merupakan gejala infeksi.

Daftar Pustaka

Allen, Carol Vestal, (1998) Memahami Proses Keperawatan, Penerbit Buku Kedokteran, EGC, Jakarta.

Betz Cecily L, Sowden Linda A. (2002). Buku Saku Keperawatan Pediatri. Jakarta : EGC.

Carpenito L. J, 2001, Diagnosa keperawatan, Jakarta : EGC

Doengoes, M E, 2000, Rencana Askep pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien, Jakarta : EGC

Hamilton, Persis Mary,(1995) Dasar-Dasar Keperawatan Maternitas, Edisi 6, EGC. Jakarta.

Ibrahim S. Cristina,(1993) Perawatan Kebidanan, Bratara Jakarta.

Manuaba, Ida Bagus Gde, (1998), Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana, EGC. Jakarta.

Martius, Gerhard, (1997), Bedah Kebidanan Martius, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

Muchtar, Rustam,(1998), Sinopsis Obstetri, Edisi 2, Jilid 1, EGC. Jakarta.

Ngastiyah.( 1997 ). Perawatan Anak Sakit Jakarta : EGC

Prawirohardjo, S. 2000. Buku acuan nasional pelayanan kesehatan maternal dan

neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka

Sacharin Rosa M. (1996). Prinsip Keperawatan Pediatrik. Alih bahasa : Maulanny R.F. Jakarta : EGC.

Sarwono Prawiroharjo,(1999)., Ilmu Kebidanan, Edisi 2 Cetakan II Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta.

Tucker, Susan Martin, (1998), Standar Perawatan Pasien, Edisi 5, Volume 4, Penerbit Buku Kedokteran, EGC. Jakarta.

Winkjosastro, Hanifa, 2005, Ilmu Kebidanan, Jakarta : Yayasan Bina Pustaka

SECTIO CAESARIA dan Asuhan Keperawatan

Pengertian sectio caesaria
Ada beberapa pengertian mengenai sectio caesaria :
Sectio caesaria adalah suatu cara melahirkan janin dengan sayatan pada dinding uterus melalui dinding depan perut. (Rustam Mochtar, 1992).
Sectio caesaria adalah suatu persalinan buatan dimana janin dilahirkan melalui suatu insisi pada dinding depan perut dan dinding rahim dengan syarat rahim dalam keadaan utuh serta berat janin di atas 500 gram (Sarwono, 1991).
Sesuai pengertian di atas maka penulis mengambil kesimpulan, sectio caesaria adalah suatu pembedahan guna melahirkan janin lewat insisi pada dinding abdomen dan uterus persalinan buatan, sehingga janin dilahirkan melalui perut dan dinding perut dan dinding rahim agar anak lahir dengan keadaan utuh dan sehat.
Ibu
Indikasi sectio caesaria
disproporsi kepala panggul/CPD//FPD
Disfungsi uterus
Distosia jaringan lunak
Plasenta previa

Anak
Janin besar
Gawat janin
Letak lingtang

Kontra indikasi sectio caesaria : pada umumnya sectio caesarian tidak dilakukan pada janin mati, syok, anemi berat, sebelum diatasi, kelainan kongenital berat (monster).
(Sarwono, 1991)
Sektio caesaria abdominalis
Tipe operasi sektio caesaria
1. Sektio caesaria klasik atau korporal dengan insisi memanjang pada korpus uteri.
Sektio caesaria ismika atau profunda atau low cervical dengan insisi pada segmen bawah rahim
2. Sectio caesaria transperitonialis yang terdiri dari :
3. Sektio caesaria ekstraperitonealis, yaitu tanpa membuka peritoneum parietalis dengan demikian tidak membuka kavum abdominalis.

Sektio Caesaria vaginalis
Menurut sayatan pada rahim, sectio caesaria dapat dilakukan sebagai berikut :
Sayatan memanjang (longitudinal) menurut Kronig
Sayatan melintang (transversal) menurut Kerr
Sayatan huruf T (T-incision)
(Mochtar, Rustam, 1992)

Prognosis
Dulu angka morbiditas dan mortalitas untuk ibu dan janin tinggi. Pada masa sekarang oleh karena kemajuan yang pesat dalam tehnik operasi, anestesi, penyediaan cairan dan darah, indikasi dan antibiotika angka ini sangat menurun.
Angka kematian ibu pada rumah-rumah sakit dengan fasilitas operasi yang baik dan oleh tenaga – tenaga yang cekatan adalah kurang dari 2 per 1000.
Nasib janin yang ditolong secara sectio caesaria sangat tergantung dari keadaan janin sebelum dilakukan operasi. Menurut data dari negara – negara dengan pengawasan antenatal yang baik dari fasilitas neonatal yang sempurna, angka kematian perinatal sekitar 4 – 7 % (Mochtar Rustam, 1992).

Komplikasi
1. Pada Ibu
Infeksi puerperal
Perdarahan
Komplikasi lain seperti luka kandung kencing, embolisme paru, dan sebagainya jarang terjadi.
1. Pada anak
Seperti halnya dengan ibunya, nasib anak yang dilahirkan dengan sectio caesaria banyak tergantung dari keadaan yang menjadi alasan untuk melakukan sectio caesaria. Menurut statistik di negara – negara dengan pengawasan antenatal dan intra natal yang baik, kematian perinatal pasca sectio caesaria berkisar antara 4 dan 7 %. (Sarwono, 1999).
Pemeriksaan diagnostik
1.Pemantauan janin terhadap kesehatan janin
Pemantauan EKG
JDL dengan diferensial
Elektrolit
Hemoglobin/Hematokrit
Golongan dan pencocokan silang darah
Urinalisis
Amniosentesis terhadap maturitas paru janin sesuai indikasi
Pemeriksaan sinar x sesuai indikasi.
Ultrasound sesuai pesanan
(Tucker, Susan Martin, 1998)
Periksa tekanan darah, frekuensi nadi dan pernafasan, ukur jumlah urin yang tertampung dikantong urin, periksa/kultur jumlah perdarahan selama operasi.
Buat laporan operasi dan cantumkan hasil pemeriksaan diatas pada lembar laporan. Catat lama operasi, jenis kelamin, nilai APGAR dan kondisi bayi saat lahir, lembar operasi ditandatangani oleh operator.
Buat instruksi perawatan yang meliputi :
Perawatan pasca operasi
Jadwal pemeriksaan ulang tekanan darah, frekuensi nadi dan nafas.
Jadwal pengukuran jumlah produksi urin
Berikan infus dengan jelas, singkat dan terinci bila dijumpai adanya penyimpangan pada No. 1 dan 2.


Penatalaksanaan medis
Cairan IV sesuai indikasi.
Anestesia; regional atau general
Perjanjian dari orang terdekat untuk tujuan sectio caesaria.
Tes laboratorium/diagnostik sesuai indikasi.
Pemberian oksitosin sesuai indikasi.
Tanda vital per protokol ruangan pemulihan
Persiapan kulit pembedahan abdomen
Persetujuan ditandatangani.
Pemasangan kateter foley
Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
Pelaksanaan asuhan keperawatan masa nifas pada post operasi sectio caesaria melalui pendekatan proses keperawatan dengan melaksanakan :

Pengkajian
Pada pengkajian klien dengan sectio caesaria, data yang dapat ditemukan meliputi distress janin, kegagalan untuk melanjutkan persalinan, malposisi janin, prolaps tali pust, abrupsio plasenta dan plasenta previa. (Tucker, Susan Martin, 1998)

Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan yang dapat muncul pada klien dengan post operasi sectio caesaria ada 6 (Tucker, Susan Martin, 1998) yaitu ;
Kurang pengetahuan yang berhubungan dengan kurang informasi tentang prosedur dan perawatan sebelum melahirkan sesar.
Nyeri yang berhubungan dengan kondisi pasca operasi.
Kerusakan perfusi jaringan kardiopulmoner dan perifer yang berhubungan dengan interupsi aliran sekunder terhadap imobilitas pasca operasi.
Resiko terhadap perubahan pola eliminasi perkemihan dan/atau konstipasi yang berhubungan dengan manipulasi dan/atau trauma sekunder terhadap sectio caesaria.
Resiko terhadap infeksi atau cedera yang berhubungan dengan prosedur pembedahan.
Kurang pengetahuan yang berhubungan dengan kurang informasi tentang perawatan melahirkan caesar.

Perencanaan
Kurang pengetahuan yang berhubungan dengan kurang informasi tentang prosedur dan perawatan sebelum melahirkan sesar.
Tujuan : - Pasien akan mengungkapkan rasional untuk melahirkan sesar dan bekerjasama dalam persiapan prabedah.

Intervensi :
Diskusikan dengan ibu dan orang terdekat alasan untuk seksio saesaria.
Jelaskan prosedur praoperasi “normal” dan resiko variasi untuk situasi saat ini.
Saksi penandatanganan persetujuan tindakan dan dapatkan tanda vital dasar.
Ambil darah untuj JDL, elektrolit, golongan darah dan skrin.
Dapatkan urine untuk urinalisis.
Nyeri yang berhubungan dengan kondisi pasca operasi.
Tujuan : Nyeri diminimalkan/dikontrol dan pasien mengungkapkan bahwa ia nyaman.
Intervensi :
Antisipasi kebutuhan terhadap obat nyeri dan atau metode tambahan penghilang nyeri.
Perhatikan dokumentasikan, dan identifikasi keluhan nyeri pada sisi insisi; abdomen, wajah meringis terhadap nyeri, penurunan mobilitas, perilaku distraksi/penghilang.
Berikan obat nyeri sesuai pesanan dan evaluasi efektivitasnya.
Berikan tindakan kenyamanan lain yang dapat membantu, seperti perubahan posisi atau menyokong dengan bantal.
Kerusakan perfusi jaringan kardiopulmoner dan perifer yang berhubungan dengan interupsi aliran sekunder terhadap imobilitas pasca operasi.
Tujuan : - Pasien tidak mengalami kongesti pernafasan
- Menunjukkan tak ada tanda atau gejala emboli pulmonal atau trombosis vena dalam selama perawatan di rumah sakit.
Intervensi :
1.
Kaji status pernafasan dengan tanda vital.
Dokumentasikan dan laporkan peningkatan frekuensi pernafasan, batuk non produktif, ronki terdengar, rales, atau kongesti jalan napas atas.
Anjurkan pasien untuk batuk, membalik, dan napas dalam setiap 2 jam selama hari pascaoperasi pertama.
Demostrasikan pembebatan untuk menyokong insisi.
Anjurkan penggunaan spirometer insentif.
Resiko terhadap perubahan pola eliminasi perkemihan dan/atau konstipasi yang berhubungan dengan manipulasi dan/atau trauma sekunder terhadap sectio caesaria.
Tujuan : - Berkemih secara spontan tanpa ketidaknyamanan
• Mengalami defeksi dalam 3 sampai 4 hari setelah pembedahan.
Intervensi :
1.
Anjurkan berkemih setiap 4 jam sampai 6 jam bila mungkin.
Berikan tekhnik untuk mendorong berkemih sesuai kebutuhan.
Jelaskan prosedur perawatan perineal per kebijakan rumah sakit.
Palpasi abdomen bawah bila pasien melaporkan distensi kandung kemih dan ketidakmampuan untuk berkemih.
Anjurkan ibu untuk ambulasi sesuai toleransi.
Resiko terhadap infeksi atau cedera yang berhubungan dengan prosedur pembedahan.
Tujuan : - Insisi bedah dan kering, tanpa tanda atau gejala infeksi.
• Involusi uterus berlanjut secara normal
Intervensi :
1.
1.
Pantau terhadap peningkatan suhu atau takikardia sebagai tanda infeksi.
Observasi insisi terhadap infeksi.
Penggantian pembalut atau sesuai pesanan
Kaji fundus, lochia, dan kandung kemih dengan tanda vital sesuai pesanan.
Massage fundus uteri bila menggembung dan tidak tetap keras
Kurang pengetahuan yang berhubungan dengan kurang informasi tentang perawatan melahirkan caesar.
Tujuan : - Klien mengungkapkan pemahaman tentang perawatan melahirkan sesar.
Intervensi :
Diskusikan tentang perawatan insisi, gejala infeksi dan pentingnya diet nutrisi.
Jelaskan tentang pentingnya periode istirahat terencana.
Jelaskan bahwa lochia dapat berlanjut selama 3 – 4 minggu, berubah dari merah ke coklat sampai putih.
Jelaskan pentingnya latihan, tidak mulai latiha keras sampai diizinkan oleh dokter.
Jelaskan tentang perawatan payudara dan ekspresi manual bila menyusui.
1.
1.
1.
Pelaksanaan
Selama tahap implementasi perawat melaksanakan rencana asuhan keperawatan. Instruksi keperawatan diimplementasikan untuk membantu klien memenuhi kriteria hasil.
Komponen tahap implementasi terdiri dari :
Tindakan keperawatan mandiri
Tindakan keperawatan mandiri dilakukan tanpa pesanan dokter. Tindakan keperawatan mandiri ini ditetapkan dengan standar praktek American Nurses Association; undang – undang praktik keperawatan negara bagian; dan kebijakan institusi perawatan kesehatan.
Tindakan keperawatan kolaboratif
Tindakan keperawatan kolaboratif diimplementasikan bila perawat bekerja dengan anggota tim perawatan kesehatan yang lain dalam membuat keputusan bersama yang bertujuan untuk mengatasi masalah – masalah klien.
Dokumentasi tindakan keperawatan dan respons klien terhadap asuhan keperawatan.
Frekuensi dokumentasi terhantung pada kondisi klien dan terapi yang diberikan. Di rumah sakit, catatan perawat ditulis minimal setiap shift dan diagnosa keperawatan dicatat di rencana asuhan keperawatan. Setiap klien harus dikaji dan dikaji ulang sesuai dengan kebijakan institusi perawatan kesehatan (Allen, Carol Vestal, 1998)

Evaluasi
Tahap evaluasi adalah perbandingan hasil – hasil yang diamati dengan kriteria hsil yang dibuat pada tahap perencanaan. Klien keluar dari siklus proses keperawatan apabila kriteria hasil telah dicapai. Klien akan masuk kembali ke dalam siklus apabila kriteria hasil belum tercapai.
Komponen tahap evaluasi terdiri dari pencapaian kriteria hasil, keefektifan tahap – tahap proses keperawatan dan revisi atau terminasi rencana asuhan keperawatan. (Allen, Carol Vestal, 1998)
Pada evaluasi klien dengan post operasi sectio caesaria, kriteria evaluasi adalah sebagai berikut :
1.
Pasien akan mengungkapkan rasional untuk melahirkan sesar dan bekerjasama dalam persiapan prabedah
Nyeri diminimalkan/dikontrol dan pasien mengungkapkan bahwa ia nyaman
Pasien tidak mengalami kongesti pernafasan dan menunjukkan tak ada tanda atau gejala emboli pulmonal atau trombosis vena dalam selama perawatan di rumah sakit.
Berkemih secara spontan tanpa ketidaknyamanan dan mengalami defeksi dalam 3 sampai 4 hari setelah pembedahan
Insisi bedah dan kering, tanpa tanda atau gejala infeksi, involusi uterus berlanjut secara normal
Klien mengungkapkan pemahaman tentang perawatan melahirkan sesar


Sumber:
1. Allen, Carol Vestal, (1998) Memahami Proses Keperawatan, Penerbit Buku Kedokteran, EGC, Jakarta.
2. Hamilton, Persis Mary,(1995) Dasar-Dasar Keperawatan Maternitas, Edisi 6, EGC. Jakarta.
3. Ibrahim S. Cristina,(1993) Perawatan Kebidanan, Bratara Jakarta.
4. Manuaba, Ida Bagus Gde, (1998), Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana, EGC. Jakarta.
5. Martius, Gerhard, (1997), Bedah Kebidanan Martius, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
6. ______________, (1999), Memahami Kesehatan Reproduksi Wanita, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
7. Muchtar, Rustam,(1998), Sinopsis Obstetri, Edisi 2, Jilid 1, EGC. Jakarta.
8. Sarwono Prawiroharjo,(1999)., Ilmu Kebidanan, Edisi 2 Cetakan II Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta.
1. _____________, (1991), Ilmu Bedah Kebidanan, Edisi 1 Cet. 2, Yayasn Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta.
2. Tucker, Susan Martin, (1998), Standar Perawatan Pasien, Edisi 5, Volume 4, Penerbit Buku Kedokteran, EGC. Jakarta.


Lebih lengkap disini: SECTIO CAESARIA dan Asuhan Keperawatan | kumpulan askep askeb | download KTI Skripsi | asuhan keperawatan kebidanan
ribuan askep askeb kti skripsi

Senin, 03 Mei 2010

MENKES RESMIKAN MALARIA CENTER

Hari ini, Menkes dr. Endang R. Sedyaningsih, MPH, Dr. PH meresmikan Malaria Center di Kabupaten Halmahera Selatan menandai puncak peringatan Hari Malaria Sedunia ke-3, tanggal 24 April 2010. Hadir dalam peresmian ini Gubernur Maluku Utara, Bupati Halmahera Selatan, Pimpinan DPRD Kabupaten Halmahera Selatan, Alim Ulama dan Tokoh Masyarakat.


Pendirian Malaria Center ini sangat penting, mengingat Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang masih menghadapi risiko penyakit malaria karena sampai saat ini sekitar 80% Kabupaten/ Kota termasuk katagori endemis malaria.

“Pendirian Malaria Center dan Pos Malaria Desa (Posmaldes) di desa endemis dan terpencil dengan memanfaatkan upaya kesehatan bersumber daya masyarakat (UKBM) dengan pembinaan dan pengawasan dari Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota melalui Puskesmas dan Poskesdes setempat merupakan langkah maju,” ujar Menkes.

Menurut Menkes, penyakit malaria terutama menyerang penduduk yang berdomisili di desa-desa yang terpencil dengan kondisi lingkungan yang kurang baik, transportasi dan komunikasi yang sulit dicapai, dan akses pelayanan kesehatan yang terbatas. Akibatnya banyak kasus malaria yang tidak mendapat pengobatan paripurna.

Jumlah kasus klinis malaria yang dilaporkan di Indonesia pada pada tahun 2009 adalah 1.143.024 orang dan jumlah kasus positif yang ditemukan berdasarkan pemeriksaan laboratorium adalah 199.577 orang. Jumlah ini mungkin lebih kecil dari keadaan yang sebenarnya, karena tidak semua kasus dilaporkan akibat hambatan transportasi dan komunikasi dari desa-desa endemis yang terpencil, ujar dr. Endang Rahayu Sedyaningsih.

Jumlah kasus menurut Menkes, tahun 2009 terjadi penurunan kasus dibanding tahun – tahun sebelumnya yang mencapai sekitar 3 juta kasus/tahun. Penurunan ini terjadi berkat adanya teknologi tepat guna dalam pengendalian malaria. Antara lain, ditemukan dan dikembangkannya obat anti malaria baru yaitu ACT (Artemisinin-based Combination Therapy) dan alat deteksi cepat atau RDT (Rapid Diagnostic Test) dan kelambu berinsektisida.

”Menurut perhitungan para ahli ekonomi kesehatan, dengan jumlah kasus seperti itu akan timbul kerugian ekonomi sekitar 3 triliun rupiah belum termasuk biaya sosial sebagai akibat dari menurunnya tingkat kecerdasan anak, rendahnya kualitas sumber daya manusia dan menurunnya produktivitas kerja,” papar Menkes.

Menkes menyatakan, malaria dapat menimbulkan berbagai komplikasi termasuk anemia. Anemia yang diderita ibu hamil dapat menyebabkan perdarahan bahkan kematian saat persalinan, berat bayi lahir rendah, dan gangguan pertumbuhan pada anak yang mengakibatkan mundurnya kemampuan kognitif dan kemampuan memahami pelajaran di sekolah. Oleh karena itu, jika Indonesia berhasil bebas dari malaria, akan dicapat peningkatan kesehatan masyarakat dan mutu generasi penerus bangsa.

Untuk mengatasi malaria, pada tanggal 12 November 1959 Presiden Soekarno telah mencanangkan Komando Pembasmian Malaria (KOPEM) yang ditandai dengan penyemprotan pertama rumah penduduk untuk membasmi nyamuk penular malaria di Yogyakarta. Peristiwa bersejarah ini setiap tahun diperingati sebagai Hari Kesehatan Nasional (HKN).

Masalah malaria merupakan masalah yang kompleks karena terkait dengan berbagai aspek seperti 1) aspek parasit penyebab penyakit malaria, yaitu Plasmodium, 2) aspek nyamuk penular, yaitu nyamuk Anopheles, 3) aspek lingkungan yang mempengaruhi jumlah nyamuk penular, dan 4) perilaku manusia yang mengakibatkan mereka rawan digigit nyamuk.

Teknologi untuk mengatasi masalah-masalah tersebut saat ini sudah dikuasai bangsa Indonesia sehingga sudah saatnya dapat mengeliminasi malaria dari bumi pertiwi, seperti arahan Bapak Presiden RI: Sekarang Saatnya Kita Bertindak, ujar Menkes.

Revitalisasi Puskesmas, kata Menkes, sebagai pusat pemberdayaan masyarakat terus digalakkan. Antara lain dengan dikembangkannya Desa Siaga sebagai perwujudan peranserta masyarakat dalam pembangunan kesehatan. Dalam rangka pengembangan Desa Siaga telah didirikan Pos Kesehatan Desa (Poskesdes) yang dipimpin tenaga kesehatan sekurang-kurangnya seorang bidan. Poskesdes ini mengkoordinir berbagai upaya kesehatan bersumber daya masyarakat (UKBM) termasuk Posmaldes.

Menkes menambahkan, pada tahun 2010, Kementerian Kesehatan juga menyediakan BOK (Bantuan Operasional Kesehatan) untuk Puskesmas dengan maksud mendukung kegiatan operasional dan upaya promotif dan preventif di wilayah kerja Puskesmas.

Dalam periode 2010 – 2014 Pemerintah juga akan mengupayakan tercapainya universal coverage atau Jamkesmas Semesta yang diharapkan akan mencakup seluruh penduduk. Selain itu, DTPK atau Daerah Terpencil, Perbatasan dan Kepulauan juga mendapat perhatian khusus dari Kementerian Kesehatan dan upaya khusus lainnya dalam bentuk PDBK (Penanganan Daerah Bermasalah Kesehatan) juga sedang dikembangkan untuk dapat segera dilaksanakan, ujar Menkes.

Berbagai langkah dan upaya ini diharapkan akan meningkatkan akses masyarakat pada pelayanan kesehatan yang bermutu. Dengan demikian masyarakat semakin dekat dengan pelayanan kesehatan dan siap-siaga dalam menghadapi berbagai tantangan di bidang kesehatan termasuk malaria dan penyakit potensial wabah lainnya, menurunkan angka kesakitan penyakit menular, menurunkan angka kematian ibu, bayi dan balita, guna mencapai visi Kementerian Kesehatan “Masyarakat Sehat yang Mandiri dan Berkeadilan”.

Menkes berharap Malaria Center ini dapat dikembangkan menjadi pusat pengembangan penanggulangan malaria menuju eliminasi malaria di Kabupaten Halmahera Selatan karena pada dasarnya setiap daerah mempunyai masalah yang berbeda.

Dalam kerjasama lintas-sektor untuk pengendalian malaria, Menkes menyambut baik masuknya pendidikan bidang kesehatan khususnya malaria dalam muatan lokal kurikulum pendidikan bagi anak sekolah.

Berita ini disiarkan oleh Pusat Komunikasi Publik, Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi melalui nomor telepon: 021-52907416-9, faks: 52921669, Call Center: 021-500567, 30413700, atau alamat e-mail puskom.publik@yahoo.co.id This e-mail address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it , info@puskom.depkes.go.id This e-mail address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it , kontak@puskom.depkes.go.id This e-mail address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it .

Senin, 29 Maret 2010

INDONESIA – TIMOR LESTE TANDATANGANI KERJA SAMA BIDANG KESEHATAN

Untuk meningkatkan kerjasama dibidang kesehatan, Menteri Kesehatan Republik Indonesia dr. Endang Rahayu Sedyaningsih, MPH, DR.PH menandatangani MOU dengan Menkes Republik Demokratik Timor Leste Dr. Nelson Martins, MD, MHM, PhD pada Kamis (25/3/2010) di Jakarta.

Menkes dr. Endang Rahayu dalam sambutannya mengatakan saat ini dunia kesehatan harus dapat menghadapi berbagai ancaman emerging dan re-emerging diseases, dimana negara-negara berkembanglah yang paling merasakan dampaknya. Walaupun setiap negara sudah berusaha maksimal untuk mengatasinya, penguatan kerjasama diantara negara-negara baik secara bilateral, regional, maupun internasional semakin diperlukan.

Kerjasama ini merupakan langkah kongkrit untuk menguatkan persahabatan antar pemerintah serta rakyat kedua negara dan berkontribusi dalam pelaksanaan Rekomendasi Laporan Akhir Komisi Kebenaran dan Persahabatan, ujar Menkes.

Menurut Menkes, kerjasama ini dapat menjadi dasar yang kuat bagi kedua negara untuk mengatasi permasalahan kesehatan di perbatasan dan masalah kesehatan lainnya yang menjadi isu regional dan global, serta dengan kerjama ini maka akan memberikan manfaat bagi keberlanjutan dan penguatan kerjasama bilateral antara kedua negara, terutama penguatan kerjasama program kesehatan.

Ruang lingkup kerjasama yaitu pelayanan kesehatan rumah sakit meliputi sistem rujukan dan sister hospital, di bidang farmasi dan alat kesehatan, pengembangan sumber daya manusia meliputi pendidikan dan pelatihan, di bidang penyakit menular terutama di daerah perbatasan dan kesiapsiagaan menghadapi pandemi, di bidang kesehatan ibu dan anak meliputi imunisasi dan gizi, penelitian dan pengembangan kesehatan, serta bidang-bidang lain yang dianggap perlu oleh kedua belah pihak, ujar Menkes.

Menkes mengatakan penandatanganan MOU menunjukkan keinginan yang kuat untuk mengembangkan stabilitas, persahabatan, dan hubungan bertetangga yang saling menguntungkan dan bermanfaat diantara kedua negara. Selain itu juga menjadi dasar untuk membangun kerjasama terutama pada bidang kesehatan. Kerjasama ini berlaku untuk jangka waktu 3 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu yang sama.

Hadir dalam acara ini Duta Besar Timor Leste untuk Indonesia Manuel Serrano, para pejabat dari Kementerian Kesehatan RI dan Timor Leste, serta tamu undangan lainnya.


sumber : www.depkes.go.id

PEMBANGUNAN KESEHATAN BERBASIS PREVENTIF DAN PROMOTIF

Kesehatan merupakan hak dasar/hak fundamental warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk mewujudkan hal tersebut, sesuai Undang­ undang No.17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJP-N) Tahun 2005-2025 dinyatakan untuk mewujudkan bangsa yang berdaya saing, pembangunan nasional diarahkan untuk mengedepankan pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas dan berdaya saing.

Hal tersebut disampaikan Menkes dr. Endang Rahayu Sedyaningsih, MPH, Dr. PH dalam Seminar Nasional yang diselenggarakan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro dengan topik ”Strategi Kesehatan Kementerian Kesehatan dalam Pembangunan Kesehatan yang Berbasiskan Preventif dan Promotif” pada Sabtu (13/03/2010) di Semarang.

Untuk mewujudkan SDM yang berkualitas dan berdaya saing, kata Menkes pembangunan kesehatan diarahkan pada peningkatan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dapat terwujud. Derajat kesehatan merupakan pilar utama bersama-sama dengan pendidikan dan ekonomi yang sangat erat dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia, sehingga diharapkan akan tercipta sumber daya manusia yang tangguh, produktif dan mampu bersaing untuk menghadapi semua tantangan yang akan dihadapinya, ujar Menkes.

Menkes mengatakan, pembangunan kesehatan tahun 2005-2025 memberikan perhatian khusus pada penduduk rentan, antara lain : ibu, bayi, anak, usia lanjut dan keluarga miskin. Adapun sasaran pembangunan kesehatan pada akhir tahun 2014 adalah meningkatnya derajat kesehatan masyarakat melalui percepatan pencapaian MDGs yang antara lain, yaitu 1) Meningkatnya umur harapan hidup menjadi 72 tahun ; 2) Menurunnya angka kematian bayi menjadi 24 per 1000 kelahiran hidup ; 3) Menurunnya angka kematian ibu melahirkan menjadi 118 per 100.000 kelahiran hidup ; dan 4) Menurunnya prevalensi gizi kurang (gizi kurang dan gizi buruk) pada anak balita menjadi lebih kecil dari 15%.

Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia tahun 2007, dalam tiga dekade terakhir, berbagai indikator derajat kesehatan masyarakat di Indonesia menunjukkan adanya perbaikan. Umur Harapan Hidup pada saat lahir meningkat menjadi 70,6 tahun, Angka Kematian Ibu menurun menjadi 228 per 100.000 Kelahiran Hidup, Angka Kematian Neonatal menurun menjadi 20 per 1.000 kelahiran Hidup, Angka Kematian Bayi menurun menjadi 34 per 1.000 Kelahiran Hidup, serta Angka Kematian Anak Balita menurun menjadi 44 per 1.000 Kelahiran Hidup, ujar Menkes.

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2007 menghasilkan berbagai peta masalah kesehatan, diantaranya: Berdasarkan gabungan hasil pengukuran Gizi Buruk dan Gizi Kurang menunjukkan bahwa sebanyak 19 provinsi mempunyai prevalensi Gizi Buruk dan Gizi Kurang diatas prevalensi nasional sebesar 18,4%. Ini berarti, target Rencana Pembangunan Jangka Menengah untuk pencapaian program perbaikan gizi yang diproyeksikan sebesar 20%, dan target Millenium Development Goals sebesar 18,5% pada 2015, telah dapat dicapai pada 2007.

Menkes mengatakan, setiap hari dan dari hari ke hari, setiap individu, keluarga dan kelompok masyarakat semakin tergantung pada pelayanan kesehatan dasar yang semakin kompleks. Pada fase kehidupan setiap orang, mulai dari janin hingga usia lanjut, baik perempuan maupun laki­ laki, mempunyai risiko dan kebutuhan kesehatan yang unik. Mereka semua bergantung pada berbagai upaya kesehatan, bukan saja untuk bertahan hidup dari serangan penyakit mematikan (survival), untuk tumbuh dan berkembang secara fisik, emosional dan intelektual (development), namun juga untuk memperoleh perlindungan kesehatan (protection) agar dapat hidup sehat dan produktif.

Pada aspek penyediaan sarana pelayanan kesehatan, Pemerintah telah berhasil membangun Puskesmas di setiap kecamatan, sampai saat ini telah terdapat 8.548 Puskesmas, 22.337 Puskesmas. Pembantu yang didukung dengan 6711 Puskesmas keliling Roda 4 dan 858 Puskesmas Keliling Perahu/kapal. Di tingkat masyarakat telah tumbuh berbagai upaya kesehatan bersumberdaya masyarakat sebagai wujud pemberdayaan masyarakat yaitu sekitar 269.000 Posyandu, 52.000 Poskesdes dan 1000 Poskestren, ujar Menkes.

Menurut Menkes, pelayanan kesehatan dasar harus terselenggara atau tersedia untuk menjamin hak azasi semua orang untuk hidup sehat. Penyelenggaraan atau penyediaan pelayanan kesehatan dasar ini harus secara nyata menunjukkan keberpihakannya kepada kelompok masyarakat risiko tinggi termasuk didalamnya kelompok masyarakat miskin. Bahkan lebih jauh lagi, ruang lingkup pelayanan kesehatan dasar tersebut harus mencakup setiap upaya kesehatan yang menjadi komitmen komunitas global, regional, nasional maupun lokal.

Dr. Endang mengatakan, WHO Regional Meeting on Revitalizing Primary Health Care di Jakarta pada Agustus 2008 menghasilkan rumusan tentang perlunya melakukan 'Primary Health Care Reforms'. Intinya adalah reformasi 'universal coverage'; 'service delivery'; 'public policy' dan 'leadership'. Revitalisasi PHC akan berdampak pada Puskesmas. Untuk itu, Kementerian Kesehatan sedang dalam proses melakukan Revitalisasi Puskesmas untuk penetapan fungsi Puskesmas yang dapat menjawab arah kebijakan pembangunan kesehatan yang mengutamakan promotif dan preventif dengan tanpa mengabaikan upaya kuratif dan rehabilitatif.

Menurut Menkes ada 4 fungsi Puskesmas yang sejalan dengan fokus pembangunan kesehatan yaitu sebagai pusat pembangunan wilayah berwawasan kesehatan, pusat pemberdayaan masyarakat, pusat pelayanan kesehatan masyarakat primer dan pusat pelayanan kesehatan perorangan primer.

Sedangkan pendekatan pelaksanaannya melalui 3 level of prevention yaitu health promotion and specific protection, early detection and prompt treatment,serta rehabilitation and disability limitation. Pada tingkatan Puskesmas level 1 dan 2 yang lebih dominan, dimana untuk level 3 tetap dilaksanakan sesuai dengan kompetensi dan fungsi Puskesmas. Sehingga perlu adanya dukungan pada tingkatan rujukan atau pelayanan sekunder , dalam hal ini Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan Rumah Sakit.

Berdasarkan aspek kelembagaan, Puskesmas adalah unit pelaksana teknis dinas kesehatan kabupaten/kota dengan prinsip kewilayahan. Artinya Puskesmas bertanggung jawab pada satu wilayah atau sebagian wilayah kecamatan. Hal ini untuk menjamin rantai kesisteman tetap dalam wilayah kabupaten/kota sesuai dengan prinsip desentralisasi, ujar Menkes.

Dalam aspek pembiayaan, sebagai UPT Dinas Kabupaten/kota, sumber utama adalah dari APBD, akan tetapi karena masih besarnya permasalahan kesehatan masyarakat maka Pemerintah akan memberikan subsidi melalui Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) yang dipergunakan untuk kegiatan pelayanan kesehatan dan manajemen di dalam maupun di luar gedung . Tujuannya untuk memberikan dukungan pelaksanaan kegiatan dan manajemen Puskesmas dan jaringannya dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Sementara dalam aspek sumber daya manusia akan dikeluarkan kebijakan tentang tenaga strategis yang meliputi dokter, bidan, perawat, tenaga promosi kesehatan (yang mampu melakukan pemberdayaan masyarakat), surveilans agar dapat melaksanakan fungsi-fungsi tersebut, kata Menkes.

Suksesnya pelaksanaan tugas Puskesmas perlu didukung jejaring rujukan dan pembinaan karena Revitalisasi Puskesmas tidak akan berhasil tanpa penguatan kabupaten/kota baik dinas kesehatan maupun rumah sakit. Puskesmas sebagai UPT kabupaten/kota mendapat pelimpahan kewenangan untuk melaksanakan tugas kabupaten/kota, tapi tidak berarti kabupaten/kota tidak mempunyai tugas sama sekali, ujar Menkes.

Menkes mengatakan pembangunan kesehatan tidak akan berhasil tanpa peran aktif dari semua pelaku pembangunan kesehatan, termasuk semua jajaran baik insan Perguruan Tinggi maupun organisasi profesi, termasuk Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia. Menkes berharap Perguruan Tinggi dan IAKMI dapat berperan aktif dan berkontribusi positif dalam pembangunan kesehatan baik melalui masukan dan kajian ilmiah, input tentang teknologi tepat guna, serta penyediaan SDM yang kompeten.

sumber : www.depkes.go.id

Senin, 18 Januari 2010

Pemerintah Lakukan Revitalisasi Penggunaan Obat Generik

Obat merupakan unsur penting dalam penyelenggaraan upaya kesehatan. Sebagian besar intervensi medik menggunakan obat, oleh karena itu akses masyarakat terhadap obat harus diperluas mencakup ketersediaan jenis maupun jumlahnya. Selain itu, perlu diperhatikan pula jaminan terhadap keamanan, khasiat, dan mutu obat serta penyebaran yang merata dan terjangkau bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Untuk menggalakkan kembali penggunaan obat generik di sarana pelayanan kesehatan utamanya milik Pemerintah, dilakukan langkah-langkah strategis.

Pertama, peningkatan efisiensi penggunaan obat melalui penggunaan obat yang rasional dan harga terjangkau, harus dilaksanakan dengan didasarkan pada risk-benefit ratio dan cost benefit ratio.Diharapkan organisasi propinsi dan IDI berperan besar agar para dokter meresepkan obat generik.

Kedua, peningkatan promosi penggunaan obat yang rasional utamanya obat esensial generik, untuk menyeimbangkan promosi/iklan obat yang berlebihan dengan pendekatan edukatif bagi masyarakat dan profesi kesehatan, dan ketentuan yang jelas tentang etika promosi obat yang lebih etis dan objektif serta implementasi dari code of conduct.
Ketiga, untuk menjamin kesinambungan suplai obat dilakukan dengan meningkatkan daya saing industri farmasi nasional dan infrastruktur jaringan distribusi dan jika diperlukan diberikan insentif ekonomi yang wajar, tanpa mengabaikan jaminan terhadap kasiat, keamanan dan mutu.

Keempat, sinergisme seluruh stakeholder terkait yakni pemerintah, lintas sektor, swasta, profesi dan masyarakat itu sendiri dalam upaya. untuk meningkatkan ketersediaan dan keterjangkauan obat.

Kelima, untuk program jangka panjang dilakukan melalui skim Managed Care atau Sistem Jaminan Sosial Nasional yang melibatkan provider (dokter, rumah sakit dan pasien) dan third-party payer (managed care organization/MCO) yang menjembatani antara provider dan pasien, dengan meyediakan jenis pelayanan sesuai kebutuhan melalui pembatasan utilisasi yang berlebihan dan pengendalian biaya yang dikeluarkan.

Hal ini disampaikan Menkes dr. Endang Rahayu Sedyaningsih, MPH. Dr. PH saat membuka Seminar Revitalisasi Penggunaan Obat Generik di Sarana Pelayanan Pemerintah, di Jakarta (12/01). Revitalisasi penggunaan obat generik merupakan salah satu Program 100 Hari Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II.

Menkes menjelaskan, sidang ke-55 World Health Assembly (WHA) tahun 2002 menganggap perlunya memperkuat kembali (revitalisasi) posisi obat esensial dalam mengatasi ketersediaan dan keterjangkauan obat dengan keluarnya satu resolusi mengenai jaminan atas akses terhadap obat esensial, (Resolution WHA A55/49) "Ensuring Accessibility of Essential Medicines".

Resolusi tersebut, menurut Menkes, juga memperkuat DOHA Ministerial Declaration on the TRIPs Agreement and Public Health November 2001. Dinyatakan, setiap negara perlu memiliki komitmen atas pemanfaatan fleksibilitas ketentuan perdagangan dunia seperti HKI (Hak atas Kekayaan Intelektual - TRIPs) untuk kepentingan rakyatnya dalam hal akses terhadap obat esensial yang terjangkau, khususnya saat keadaan kritis dan mengancam jiwa (life threatening).

"Kedua komitmen global tersebut sangatlah penting artinya bagi negara berkembang yang umumnya memiliki keterbatasan dana untuk obat dan infrastruktur lain, termasuk Indonesia," tegas Menkes.

Untuk Indonesia, kedua komitmen global tersebut sangat relevan untuk memperkuat Kebijakan Obat Nasional (KONAS) sebagai komitmen dan pedoman dalam pelaksanaan kegiatan di bidang obat, tambah Menkes.

KONAS merupakan kebijakan yang menyeluruh, mencakup berbagai unsur meliputi sumber daya, infrastruktur, serta aspek lainnya yang sejalan dengan tujuan KONAS yang mencakup antara lain menjamin ketersediaan, pemerataan dan keterjangkauan obat terutama obat esensial. Menjamin keamanan, khasiat dan mutu semua obat yang beredar serta melindungi masyarakat dari penggunaan dan penyalahgunaan obat, serta menjamin penggunaan obat yang rasional.

Penggunaan obat generik dalam pelayanan kesehatan publik telah dicanangkan sejak tahun 1989 dan telah dikenal di masyarakat, tetapi hasilnya belum menggembirakan. Bahkan, beberapa tahun terakhir ini mengalami penurunan yang cukup signifikan terlihat dari trend pasar obat nasional.

Dalam lima tahun terakhir, pasar obat generik turun dari Rp.2,525 Triliun (10,0% dari pasar nasional) menjadi Rp.2,372 Triliun (7,2% dari pasar nasional). Sementara pasar obat nasional meningkat dari Rp. 23,590 Triliun i tahun 2005, menjadi Rp.32,938 Triliun tahun 2009.

Sementara itu, ketersediaan obat esensial generik di sarana pelayanan kesehatan baru mencapai 69,74% dari target 95%, anggaran untuk obat esensial generik di sektor publik sebesar 14,47% dengan target setara dengan 2 USD perkapita. Peresepan obat generik di Puskesmas mencapai 90%, sementara di RSU serta RS Swasta dan apotek masing-masing 66% dan 49%.

Berdasarkan data diatas, ketersediaan, pemerataan dan keterjangkauan obat khususnya obat esensial dapat dicapai antara lain melalui rasionalisasi harga obat dan revitalisasi penggunaan obat generik.

Pada seminar yang dihadiri pejabat Eselon I dan II di lingkungan Kementerian Kesehatan, Direktur RS se-Jabodetabek, serta Dekan Fakultas Kedokteran, Kedokteran Gigi, dan Farmasi se-Jabodetabek, Menkes menegaskan, akses terhadap obat, terutama obat esensial merupakan hak azasi manusia yang wajib dipenuhi pemerintah dan lembaga pelayanan kesehatan baik publik maupun swasta. Pemerintah akan terus mendorong dan mempromosikan penggunaan obat generik secara berkesinambungan dan konsisten sebagai salah satu langkah untuk pencapaian pemerataan dan keterjangkauan obat.

Berita ini disiarkan oleh Pusat Komunikasi Publik, Sekretariat Jenderal Departemen Kesehatan. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi melalui nomor telepon: 021-52907416-9, faks: 52921669, Call Center: 021-30413700, atau alamat e-mail puskom.publik@yahoo.co.id, info@puskom.depkes.go.id, kontak@puskom.depkes.go.id.

hukum kesehatan

HUKUM KESEHATAN
I. Pendahuluan
Dalam era reformasi saat ini, hukum memegang peran penting dalam berbagai segi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi setiap orang, yang merupakan bagian integral dari kesejahteraan, diperlukan dukungan hukum bagi penyelenggaraan berbagai kegiatan di bidang kesehatan.
Perubahan konsep pemikiran penyelenggaraan pembangunan kesehatan tidak dapat dielakkan. Pada awalnya pembangunan kesehatan bertumpu pada upaya pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan, bergeser pada penyelenggaraan upaya kesehatan yang menyeluruh dengan penekanan pada upaya pencegahan penyakit dan peningkatan kesehatan. Paradigma ini dikenal dalam kalangan kesehatan sebagai paradigma sehat.
Sebagai konsekuensi logis dari diterimanya paradigma sehat maka segala kegiatan apapun harus berorientasi pada wawasan kesehatan, tetap dilakukannya pemeliharaan dan peningkatan kualitas individu, keluarga dan masyarakat serta lingkungan dan secara terus menerus memelihara dan meningkatkan pelayanan kesehatan yang bermutu, merata, dan terjangkau serta mendorong kemandirian masyarakat untuk hidup sehat.
Secara ringkas untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi setiap orang maka harus secara terus menerus dilakukan perhatian yang sungguh-sungguh bagi penyelenggaraan pembangunan nasional yang berwawasan kesehatan, adanya jaminan atas pemeliharaan kesehatan, ditingkatkannya profesionalisme dan dilakukannya desentralisasi bidang kesehatan.
Kegiatan-kegiatan tersebut sudah barang tentu memerlukan perangkat hukum kesehatan yang memadai. Perangkat hukum kesehatan yang memadai dimaksudkan agar adanya kepastian hukum dan perlindungan yang menyeluruh baik bagi penyelenggara upaya kesehatan maupun masyarakat penerima pelayanan kesehatan.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah yang dimaksud dengan hukum kesehatan, apa yang menjadi landasan hukum kesehatan, materi muatan peraturan perundang-undangan bidang kesehatan, dan hukum kesehatan di masa mendatang.
Diharapkan jawaban atas pertanyaan tersebut dapat memberikan sumbangan pemikiran, baik secara teoritikal maupun praktikal terhadap keberadaan hukum kesehatan. Untuk itu dilakukan kajian normatif, kajian yang mengacu pada hukum sebagai norma dengan pembatasan pada masalah kesehatan secara umum melalui tradisi keilmuan hukum.
Dalam hubungan ini hukum kesehatan yang dikaji dibagi dalam 3 (tiga) kelompok sesuai dengan tiga lapisan ilmu hukum yaitu dogmatik hukum, teori hukum, dan filsafat hukum. Selanjutnya untuk memecahkan isu hukum, pertanyaan hukum yang timbul maka digunakan pendekatan konseptual, statuta, historis, dogmatik, dan komparatif. Namun adanya keterbatasan waktu maka kajian ini dibatasi hanya melihat peraturan perundang-undangan bidang kesehatan.
II. Batasan dan Lingkup Hukum Kesehatan
Van der Mijn di dalam makalahnya menyatakan bahwa, “…health law as the body of rules that relates directly to the care of health as well as the applications of general civil, criminal, and administrative law”.(1)
Lebih luas apa yang dikatakan Van der Mijn adalah pengertian yang diberikan Leenen bahwa hukum kesehatan adalah “…. het geheel van rechtsregels, dat rechtstreeks bettrekking heft op de zorg voor de gezondheid en de toepassing van overig burgelijk, administratief en strafrecht in dat verband. Dit geheel van rechtsregels omvat niet alleen wettelijk recht en internationale regelingen, maar ook internationale richtlijnen gewoonterecht en jurisprudenterecht, terwijl ook wetenschap en literatuur bronnen van recht kunnen zijn”.(2)
Dari apa yang dirumuskan Leenen tersebut memberikan kejelasan tentang apa yang dimaksudkan dengan cabang baru dalam ilmu hukum, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan pemeliharaan kesehatan (zorg voor de gezondheid). Rumusan tersebut dapat berlaku secara universal di semua negara. Dikatakan demikian karena tidak hanya bertumpu pada peraturan perundang-undangan saja tetapi mencakup kesepakatan/peraturan internasional, asas-asas yang berlaku secara internasional, kebiasaan, yurisprudensi, dan doktrin.
Di sini dapat dilukiskan bahwa sumber hukum dalam hukum kesehatan meliputi hukum tertulis, yurisprudensi, dan doktrin. Dilihat dari objeknya, maka hukum kesehatan mencakup segala aspek yang berkaitan dengan pemeliharaan kesehatan (zorg voor de gezondheid).
Dengan demikian dapat dibayangkan bahwa hukum kesehatan cukup luas dan kompleks. Jayasuriya mengidentifikasikan ada 30 (tiga puluh) jenis peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kesehatan.(3)
Secara umum dari lingkup hukum kesehatan tersebut, materi muatan yang dikandung didalamnya pada asasnya adalah memberikan perlindungan kepada individu, masyarakat, dan memfasilitasi penyelenggaraan upaya kesehatan agar tujuan kesehatan dapat tercapai. Jayasuriya bertolak dari materi muatan yang mengatur masalah kesehatan menyatakan ada 5 (lima) fungsi yang mendasar, yaitu pemberian hak, penyediaan perlindungan, peningkatan kesehatan, pembiayaan kesehatan, dan penilaian terhadap kuantitas dan kualitas dalam pemeliharaan kesehatan.(4)
Dalam perjalanannya diingatkan oleh Pinet bahwa untuk mewujudkan kesehatan untuk semua, diidentifikasikan faktor determinan yang mempengaruhi sekurang-kurangnya mencakup, “... biological, behavioral, environmental, health system, socio economic, socio cultural, aging the population, science and technology, information and communication, gender, equity and social justice and human rights”.(5)
III. Landasan Hukum Kesehatan
Hermien Hadiati Koeswadji menyatakan pada asasnya hukum kesehatan bertumpu pada hak atas pemeliharaan kesehatan sebagai hak dasar social (the right to health care) yang ditopang oleh 2 (dua) hak dasar individual yang terdiri dari hak atas informasi (the right to information) dan hak untuk menentukan nasib sendiri (the right of self determination).(6)
Sejalan dengan hal tersebut Roscam Abing mentautkan hukum kesehatan dengan hak untuk sehat dengan menyatakan bahwa hak atas pemeliharaan kesehatan mencakup berbagai aspek yang merefleksikan pemberian perlindungan dan pemberian fasilitas dalam pelaksanaannya. Untuk merealisasikan hak atas pemeliharaan bisa juga mengandung pelaksanaan hak untuk hidup, hak atas privasi, dan hak untuk memperoleh informasi.(7)
Demikian juga Leenen secara khusus, menguraikan secara rinci tentang segala hak dasar manusia yang merupakan dasar bagi hukum kesehatan.(8)
IV. Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan Bidang Kesehatan
Sebenarnya dalam kajian ini akan disajikan menyangkut seluruh lingkup hukum kesehatan, namun keterbatasan waktu, maka penyajian dibatasi pada materi muatan peraturan perundang-undangan bidang kesehatan. Segala sesuatu yang berkaitan dengan kesehatan seringkali dikatakan sebagian masyarakat kesehatan dengan ucapan saratnya peraturan. Peraturan dimaksud dapat berupa peraturan perundang-undangan yang berlaku umum dan berbagai ketentuan internal bagi profesi dan asosiasi kesehatan. Agar diperoleh gambaran yang lebih menyeluruh maka digunakan susunan 3 (tiga) komponen dalam suatu sistem hukum seperti yang dikemukakan Schuyt.(9) Ketiga komponen dimaksud adalah keseluruhan peraturan, norma dan ketetapan yang dilukiskan sebagai sistem pengertian, betekenissysteem, keseluruhan organisasi dan lembaga yang mengemban fungsi dalam melakukan tugasnya, organisaties instellingen dan keseluruhan ketetapan dan penanganan secara konkret telah diambil dan dilakukan oleh subjek dalam komponen kedua, beslisingen en handelingen.
Dalam komponen pertama yang dimaksudkan adalah seluruh peraturan, norma dan prinsip yang ada dalam penyelenggaraan kegiatan di bidang kesehatan. Bertolak dari hal tersebut dapat diklasifikasikan ada 2 (dua) bentuk, yaitu ketentuan-ketentuan yang dibuat oleh penguasa dan ketentuan yang dibuat oleh organisasi profesi dan asosiasi kesehatan. Hubungan antara keduanya adalah ketentuan yang dibuat oleh organisasi profesi dan asosiasi kesehatan serta sarana kesehatan hanya mengikat ke dalam dan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan yang dibuat oleh penguasa. Menurut inventarisasi yang dilakukan terhadap ketentuan yang dikeluarkan penguasa dalam bentuk peraturan perundang-undangan terdapat 2 (dua) kategori, yaitu yang bersifat menetapkan dan yang bersifat mengatur.
Dari sudut pandang materi muatan yang ada dapat dikatakan mengandung 4 (empat) obyek, yaitu:
1. Pengaturan yang berkaitan dengan upaya kesehatan;
2. Pengaturan yang berkaitan dengan tenaga kesehatan;
3. Pengaturan yang berkaitan dengan sarana kesehatan;
4. Pengaturan yang berkaitan dengan komoditi kesehatan.
Apabila diperhatikan dari ketentuan tersebut terkandung prinsip perikemanusiaan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, manfaat, usaha bersama dan kekeluargaan, adil dan merata, perikehidupan dalam keseimbangan dan kepercayaan pada kemampuan dan kekuatan sendiri.(10)
Selanjutnya dari ketentuan yang ada dalam keputusan dan peraturan yang dibuat oleh organisasi profesi dan asosiasi bidang kesehatan serta sarana kesehatan adalah mencakup kode etik profesi, kode etik usaha dan berbagai standar yang harus dilakukan dalam penyelenggaraan upaya kesehatan.
Apabila diperhatikan prinsip-prinsip yang dikandung dalam ketentuan ini mencakup 4 (empat) prinsip dasar, yaitu autonomy, beneficence, non maleficence dan justice.(11)
Sebelum memasuki komponen kedua, perlu dibahas terlebih dahulu komponen ketiga mengenai intervensi yang berupa penanganan yang dilakukan berdasarkan ketentuan yang diatur. Komponen ini merupakan aktualisasi terhadap komponen ideal yang ada dalam komponen pertama. Bila diperhatikan isi ketentuan yang ada dimana diperlukan penanganan terdapat 4 (empat) sifat, yaitu:
1. Perintah (gebod) yang merupakan kewajiban umum untuk melakukan sesuatu;
2. Larangan (verbod) yang merupakan kewajiban umum untuk tidak melakukan sesuatu;
3. Pembebasan (vrijstelling, dispensatie) berupa pembolehan khusus untuk tidak melakukan sesuatu yang secara umum diharuskan.
4. Izin (toesteming, permissie) berupa pembolehan khusus untuk melakukan sesuatu yang secara umum dilarang.(12)
Tindakan penanganan yang dilakukan apakah sudah benar atau tidak, kiranya dapat diukur dengan tatanan hukum seperti yang dikemukakan oleh Nonet dan Selznick, yaitu apakah masih bersifat represif, otonomous atau responsive.(13)
Selanjutnya dengan komponen kedua tentang organisasi yang ada dalam penyelenggaraan upaya kesehatan dapat dibagi dalam 2 (dua) bagian besar yaitu organisasi pemerintah dan organisasi / badan swasta.
Pada organisasi pemerintah mencakup aparatur pusat dan daerah serta departemen dan lembaga pemerintah non departemen. Pada sektor swasta terdapat berbagai organisasi profesi, asosiasi dan sarana kesehatan yang mempunyai tugas dan fungsi di bidang kesehatan.
Dari susunan dalam 3 (tiga) komponen tersebut secara global menurut Schuyt bahwa tujuan yang ingin dicapat adalah (14):
1. Penyelenggaraan ketertiban sosial;
2. Pencegahan dari konflik yang tidak menyenangkan;
3. Jaminan pertumbuhan dan kemandirian penduduk secara individual;
4. Penyelenggaraan pembagian tugas dari berbagai peristiwa yang baik dalam masyarakat;
5. Kanalisasi perubahan sosial.
V. Hukum Kesehatan di Masa Mendatang
Hermien Hadiati Koeswadji mencatat bahwa dari apa yang telah digariskan dalam peraturan perundang-undangan yang ada perlu terus ditingkatkan untuk (15):
1. Membudayakan perilaku hidup sehat dan penggunaan pelayanan kesehatan secara wajar untuk seluruh masyarakat;
2. Mengutamakan upaya peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit;
3. Mendorong kemandirian masyarakat dalam memilih dan membiayai pelayanan kesehatan yang diperlukan;
4. Memberikan jaminan kepada setiap penduduk untuk mendapatkan pemeliharaan kesehatan;
5. Mengendalikan biaya kesehatan;
6. Memelihara adanya hubungan yang baik antara masyarakat dengan penyedia pelayanan kesehatan;
7. Meningkatkan kerjasama antara upaya kesehatan yang dilakukan pemerintah dan masyarakat melalui suatu bentuk pemeliharaan kesehatan bagi masyarakat yang secara efisien, efektif dan bermutu serta terjangkau oleh masyarakat.
Untuk itu dukungan hukum tetap dan terus diperlukan melalui berbagai kegiatan untuk menciptakan perangkat hukum baru, memperkuat terhadap tatanan hukum yang telah ada dan memperjelas lingkup terhadap tatanan hukum yang telah ada.
Beberapa hal yang perlu dicatat disini adalah yang berkaitan dengan:
1. Eksistensi Badan Pertimbangan Kesehatan Nasional yang telah ada harus diperkuat dan harus merupakan organisasi yang independen sehingga dapat memberikan pertimbangan lebih akurat;
2. Perlu dibangun keberadaan Konsil untuk tenaga kesehatan dimana lembaga tersebut merupakan lembaga yang berwenang untuk melakukan pengaturan berbagai standar yang harus dipenuhi oleh tenaga kesehatan dalam penyelenggaraan upaya kesehatan. Dalam dunia kedokteran dan kedokteran gigi telah dibentuk Konsil Kedokteran Indonesia sebagaimana dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran;
3. Perlu dibangun lembaga registrasi tenaga kesehatan dalam upaya untuk menilai kemampuan profesional yang dimiliki tenaga kesehatan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan. Bagi tenaga dokter dan dokter gigi peranan Konsil Kedokteran Indonesia dan organisasi profesi serta Departemen Kesehatan menjadi penting;
4. Perlu dikaji adanya lembaga Peradilan Disiplin Profesi Tenaga Kesehatan. Dimana untuk tenaga medis telah dibentuk Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia sesuai dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004;
5. Perlu dibangun lembaga untuk akreditasi berbagai sarana kesehatan.

VI. Kesimpulan
Dari apa yang telah diuraikan diatas, hukum kesehatan merupakan cabang ilmu hukum yang baru. Untuk itu masih terbuka kesempatan yang luas bagi para ahli hukum melakukan berbagai pengembangan dengan tujuan tersedianya perlindungan yang menyeluruh baik untuk masyarakat penerima pelayanan kesehatan maupun tenaga dan sarana kesehatan pemberi pelayanan kesehatan. Kajian dapat dilakukan baik secara sektoral maupun dimensional melalui inter dan multidisiplin.


CATATAN KAKI
(1) Van der Mijn, 1984, ”The Development of Health Law in the Nederlands”, Makalah yang disampaikan dalam Seminar Sehari ”Issues of Health Law”, Tim Pengkajian Hukum Kedokteran, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman RI bekerja sama dengan PERHUKI dan PB IDI, Jakarta, hal 2.
(2) H.J.J. Leenen, 1981, Gezondheidszorg en recht, een gezondheidsrechtelijke studie, Samson uitgeverij, alphen aan den rijn/Brussel, hal 22.
(3) D.C.Jayasuriya, 1997, Health Law, International and Regional Perspectives, Har-Anand Publication PUT Ltd, New Delhi India, hal 16-28.
(4) Ibid, hal 33.
(5) Genevieve Pinet, 1998, “Health Challenges of The 21st Century a Legislative Approach to Health Determinants”, Artikel dalam International Digest of Health Legislations, Vol 49 No. 1, 1998, Geneve, hal 134.
(6) Hermien Hadiati Koeswadji, 1998, Hukum Kedokteran, Studi Tentang Hubungan Hukum Dalam Mana Dokter Sebagai Salah Satu Pihak, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal 22.
(7) Roscam Abing, 1998, “Health, Human Rights and Health Law The Move Towards Internationalization With Special Emphasis on Europe” dalam journal International Digest of Health Legislations, Vol 49 No. 1, 1998, Geneve, hal 103 dan 107.
(8) HJJ. Leenen, 1981, Recht en Plicht in de Gezondheidszorg, Samson Uitgeverij, Alphen aan den Rijn/Brussel.
(9) Schuyt, 1983, Recht en Samenleving, van Gorcum, Assen, hal 11-12.
(10) Lihat Pasal 2 Undang-Undang Nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan.
(11) Lihat Tom L. Beauchamp dan James F. Childress, Principles of Biomedical Ethics, 1994, Oxford University Press, New York, hal 38.
(12) Bruggink, 1993, Rechtsrefleeties, Grondbegrippen uit de Rechtstheorie, Kluwer, Deventer, hal 72.
(13) Philipie Nonet dan Philip Selznick, 1978, Law and Society in Transition, Toward, Responsive Law, Hasper Torch Books, New York.
(14) Schuyt, op.cit, hal 19.
(15) Hermin Hadiati Koeswadji, 2002, Hukum Untuk Perumahsakitan, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, hal 17-18.

Oleh : Faiq Bahfen
biro Hukum & Organisasi Departemen Kesehatan R.I.
Jalan H.R. Rasuna Blok X5 Kav No. 4-9 Kuningan, Jakarta Selatan 12950

Senin, 11 Januari 2010

2009-2011 NURSING DIAGNOSES

2009-2011 NURSING DIAGNOSES

ORGANIZED ACCORDING TO A NURSING FOCUS

BY DOENGES/MOORHOUSE DIAGNOSTIC DIVISIONS

* = New diagnosa
+ = Revised diagnosa
KEGIATAN / REST-Kemampuan untuk terlibat dalam diperlukan / dikehendaki aktivitas kehidupan (pekerjaan dan
waktu luang) dan untuk memperoleh cukup tidur / istirahat
Intoleransi Aktivitas
Aktivitas Intoleransi, risiko untuk
* Kegiatan Perencanaan, tidak efektif
Ketidakgunaan Sindrom, risiko untuk
Kegiatan Diversional, kekurangan
Kelelahan
Insomnia
Gaya hidup, tak berpindah-pindah
Mobilitas, gangguan tidur
Mobilitas, cacat kursi roda
Tidur, kesiapan untuk meningkatkan
Tidur
+ Tidur Pola, terganggu
Kemampuan transfer, terganggu
Berjalan, gangguan
SIRKULASI-Kemampuan untuk mengangkut oksigen dan nutrisi yang diperlukan untuk memenuhi selular
kebutuhan
Otonom Dysreflexia
Otonom Dysreflexia, risiko untuk
* Perdarahan, risiko untuk
Output jantung, penurunan
Kapasitas Adaptive intrakranial, penurunan
* Perfusi, tidak efektif jaringan perifer
* Perfusi, risiko untuk jaringan jantung berkurang
* Perfusi, risiko untuk jaringan serebral tidak efektif
* Perfusi, risiko untuk pencernaan tidak efektif
* Perfusi, risiko untuk tidak efektif ginjal
* Shock, risiko untuk
INTEGRITAS EGO-Kemampuan untuk mengembangkan dan menggunakan keterampilan dan perilaku untuk mengintegrasikan dan
mengelola pengalaman hidup
Kegelisahan [menentukan level]
Kecemasan, kematian
Perilaku, rawan risiko kesehatan
Body Image, terganggu
Konflik, putusan (sebutkan)
+ Coping, defensif
Mengatasi, tidak efektif
Mengatasi, kesiapan untuk meningkatkan
Decision Making, kesiapan untuk meningkatkan
Penyangkalan, tidak efektif
Martabat, risiko untuk berkompromi manusia
Distress, moral
Energi Field, terganggu
Ketakutan
Berduka
Berduka, rumit
Berduka, risiko rumit
Hope, kesiapan untuk meningkatkan
Keputusasaan
+ Identity, terganggu pribadi
Post-Trauma Syndrome
Post-Trauma Syndrome, risiko untuk
Power, kesiapan untuk meningkatkan
Ketidakberdayaan
Ketidakberdayaan, risiko untuk
Rape-Trauma Syndrome
[Rape-Trauma Syndrome: senyawa reaksi-pensiun 2009]
[Rape-Trauma Syndrome: reaksi diam-pensiun 2009]
* Hubungan, kesiapan untuk meningkatkan
Religiusitas, cacat
Religiusitas, siap untuk meningkatkan
Religiusitas, risiko untuk diburukkan
Relocation Stress Syndrome
Stres relokasi Sindrom, risiko untuk
* Ketahanan, individu terganggu
* Ketahanan, kesiapan untuk meningkatkan
* Ketahanan, risiko untuk berkompromi
Konsep diri, kesiapan untuk meningkatkan
+ Self-Esteem, rendah kronis
Self-Esteem, rendah situasional
Self-Esteem, risiko rendah situasional
Kesedihan, kronis
Distress spiritual
Distress spiritual, risiko untuk
Spiritual Well-Being, kesiapan untuk meningkatkan
PENGHAPUSAN-Kemampuan untuk mengekskresikan produk limbah
Usus Incontinence
Sembelit
Sembelit, dirasakan
Sembelit, risiko untuk
Diare
* Motilitas, disfungsional gastrointestinal
* Motilitas, risiko untuk pencernaan disfungsional
Urin Penghapusan, terganggu
Urin Penghapusan, kesiapan untuk meningkatkan
Urinary Incontinence, fungsional
Urinary Incontinence, meluap
Urinary Incontinence, refleks
Urinary Incontinence, risiko untuk mendorong
Urinary Incontinence, stres
[Urinary Incontinence, total-pensiun 2009]
Urinary Incontinence, dorongan
Urinary Retention [akut / kronis]
MAKANAN / CAIRAN-Kemampuan untuk menjaga dan memanfaatkan asupan nutrisi dan cairan untuk bertemu
fisiologis
Menyusui, efektif
Menyusui, tidak efektif
Menyusui, sela
Pertumbuhan gigi, gangguan
* Elektrolit Ketidakseimbangan, risiko untuk
Kegagalan untuk berkembang, dewasa
Pola makan, bayi tidak efektif
Fluida Saldo, kesiapan untuk meningkatkan
[Fluid Volume, kekurangan hiper / hipotonik]
Fluid Volume, kekurangan [isotonik]
Fluid Volume, kelebihan
Fluid Volume, risiko kekurangan
+ Fluid Volume, risiko untuk seimbang
Glukosa, risiko darah tidak stabil
+ Fungsi Hati, risiko untuk diburukkan
Mual
Nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh, seimbang
Nutrisi: lebih dari kebutuhan tubuh, seimbang
Nutrisi: risiko untuk lebih dari kebutuhan tubuh, seimbang
Nutrisi, kesiapan untuk meningkatkan
Membran mukosa oral, terganggu
Menelan, gangguan
HYGIENE-Kemampuan untuk melakukan aktivitas hidup sehari-hari
Self-Care, kesiapan untuk meningkatkan
Self-Care Deficit, mandi
Self-Care Deficit, berpakaian
Self-Care Deficit, makan
Self-Care Deficit, toilet
* Abaikan, diri
NEUROSENSORY-Kemampuan untuk memahami, mengintegrasikan, dan menanggapi internal dan eksternal
isyarat
Kebingungan, akut
Kebingungan, risiko akut
Kebingungan, kronis
Bayi Behavior, teratur
Bayi Behavior, kesiapan untuk meningkatkan terorganisir
Bayi Behavior, risiko untuk tidak teratur
Memori, gangguan
Abaikan, sepihak
Peripheral neurovaskular Disfungsi, risiko untuk
Sensory Perception, terganggu (sebutkan: visual, auditori, kinestetik, gustatory, taktil,
pencium)
Stress Overload
[Thought Processes, terganggu-pensiun 2009]
PAIN / RASA TlDAK NYAMAN-Kemampuan untuk mengendalikan internal / eksternal untuk memelihara lingkungan
kenyamanan
* Comfort, terganggu
Comfort, kesiapan untuk meningkatkan
Sakit, akut
Sakit, kronis
PERNAPASAN-Kemampuan untuk menyediakan dan menggunakan oksigen untuk memenuhi kebutuhan fisiologis
Airway Clearance, tidak efektif
Aspirasi, risiko untuk
Pola pernapasan, tidak efektif
Gas Exchange, terganggu
Ventilasi, cacat spontan
Penyapihan ventilasi Respon, disfungsional
SAFETY-Kemampuan untuk memberikan aman, lingkungan pendorong pertumbuhan
Respon alergi, lateks
Respon alergi, risiko untuk lateks
Suhu tubuh, risiko untuk seimbang
Kontaminasi
Kontaminasi, risiko untuk
Sindrom kematian, risiko untuk bayi mendadak
Interpretasi lingkungan Syndrome, gangguan
Jatuh, risiko
Pemeliharaan kesehatan, tidak efektif
Rumah Maintenance, cacat
Hipertermia
Hipotermia
Status imunisasi, kesiapan untuk meningkatkan
Infeksi, risiko
Cedera, risiko
Cedera, posisi risiko perioperatif
* Penyakit kuning, neonatal
* Ibu / Fetal dyad, risiko untuk terganggu
Mobilitas, cacat fisik
Keracunan, risiko untuk
Perlindungan, tidak efektif
Self-Mutilation
Self-Mutilation, risiko untuk
Kulit Integritas, terganggu
Integritas kulit, risiko untuk diburukkan
Sesak napas, risiko untuk
Bunuh diri, risiko untuk
Bedah Recovery, tertunda
Termoregulasi, tidak efektif
Jaringan Integritas, terganggu
Trauma, resiko untuk
* Trauma, risiko vaskular
Kekerasan, [sebenarnya /] risiko diarahkan orang lain
Kekerasan, [sebenarnya /] risiko untuk self-directed
Wandering [menentukan sporadis atau terus-menerus]
SEKSUALITAS-[Komponen Ego Integritas dan Interaksi Sosial] Kemampuan untuk memenuhi
persyaratan / karakteristik laki-laki dan peran perempuan
* Proses melahirkan anak, kesiapan untuk meningkatkan
Disfungsi Seksual
Pola seksualitas, tidak efektif
INTERAKSI SOSIAL-Kemampuan untuk membangun dan memelihara hubungan
Lampiran, risiko untuk diburukkan
Peran caregiver Strain
Peran pengasuh Strain, risiko untuk
Komunikasi, cacat verbal
Komunikasi, kesiapan untuk meningkatkan
Konflik, peran orangtua
Mengatasi, masyarakat tidak efektif
Mengatasi, kesiapan masyarakat untuk meningkatkan
Mengatasi, keluarga berkompromi
Mengatasi, keluarga penyandang cacat
Mengatasi, kesiapan untuk meningkatkan keluarga
Keluarga Processes, disfungsional
Keluarga Processes, sela
Keluarga Processes, kesiapan untuk meningkatkan
Kesepian, risiko untuk
Parenting, cacat
Parenting, kesiapan untuk meningkatkan
Parenting, risiko untuk diburukkan
Peran Kinerja, tidak efektif
Interaksi sosial, cacat
Isolasi sosial
PENGAJARAN / BELAJAR-Kemampuan untuk memasukkan dan menggunakan informasi untuk mencapai
gaya hidup sehat / kesehatan yang optimal
Pembangunan, risiko untuk menunda
Pertumbuhan, resiko untuk tidak proporsional
Pertumbuhan dan Pembangunan, tertunda
+ Kesehatan Perilaku, risiko rawan
+ Health Management, efektif diri
Pengetahuan, kekurangan (sebutkan)
Pengetahuan (sebutkan), kesiapan untuk meningkatkan
Ketidakpatuhan [Kepatuhan, tidak efektif] [sebutkan]
[Therapeutic regimen Manajemen, efektif-pensiun 2009]
Manajemen rejimen terapeutik, tidak efektif
[Therapeutic regimen Manajemen, masyarakat tidak efektif pensiun 2009]
Manajemen rejimen terapeutik, keluarga tidak efektif
Manajemen rejimen terapeutik, kesiapan untuk meningkatkan
* = New diagnosa
+ = Revised diagnosa

Kamis, 03 September 2009

DOSIS OBAT

DOSIS OBAT
Dosis suatu obat : adalah dosis pemakaian sekali untuk peroral atau injeksi,Dalam pemberian terapi obat yg rasional, DOSIS OBAT merupakan faktor penting dlm menghasilkan efek yang diinginkan, bahkan dpt membahayakan jika terjadi OVER DOSIS.
Untuk menetapkan dosis yang tepat, perlu diketahui macam-macam dosis :

DOSIS TERAPI (DT)
Dosis individual yg tertulis di resep dg tujuan pengobatan

DOSIS LAZIM (DL)
Dosis yang tercantum di literatur yg lazimnya dapat menyembuhkan, dosis tersebut sebagai acuan dalam menetapkan dosis terapi per individual
Contoh : Erithromicin
Sekali minum : 250 mg – 500 mg
Seharinya : 1000 mg – 2000 mg

DOSIS MAKSIMUM (DM)
Dosis terbesar yg dpt memberikan efek terapi tanpa menimbulkan bahaya
Contoh : Erithromicin
Sekali minum : 500 mg
Seharinya : 4000 mg

FAKTOR YG MEMPENGARUHI DOSIS OBAT :
Berat Badan
Umur
Luas permukaan tubuh
Jenis kelamin
Status patologi
Toleransi
Obat yg diberikan bersamaan
Waktu pemakaian
Bentuk sediaan dan cara pemakaian


KONVERSI DALAM SISTEM MATRIKS
1 Gram ( g ) = 1000 miligram ( mg )
1 Liter ( l ) = 1000 mililiter ( ml )
1 Miligram = 1000 mikrogram ( µg )
Mililiter ( ml ) = cc
1 Sendok Teh ( sendok obat, sendok plastik ) = 5 ml
1 Sendok Makan = 15 ml

RUMUS MENGHITUNG DOSIS:

CLARK : w/70 x DM Dewasa
YOUNG : w/(n+20) X DM Dewasa
DILLING : n/20 X DM Dewasa
FRIED : m/150 X DM Dewasa
COWLING : (n+1)/24 X DM Dewasa
Keterangan :
W = Berat Badan ( Kg )
n = Umur ( tahun )
m = Umur ( bulan)


CARA MENGHITUNG DOSIS
BERDASARKAN BERAT BADAN (CLARK)
W (Weight = BB (Kg)) / 70 X DM Dewasa
Berapa dosis erithromicin untuk anak 5 tahun ( BB = 15 Kg ) jika dosis lazimnya 250mg 500mg sekali minum dan 1000mg-2000mg seharinya?
Jaw: Sekali minum = 15 Kg/70 Kg X 250mg-500mg
= 52.5mg -105 mg
Seharinya = 15 Kg/70 Kg X 1000mg-2000mg
=210mg – 420mg

BERDASARKAN UMUR
YOUNG ( n = UMUR KURANG DARI 8 TAHUN )
n (umur) / n + 12 X DM Dewasa
Berapa dosis erithromicin untuk anak 5 tahun ( BB = 15 Kg ) jika dosis lazimnya 250mg-500mg sekali minum dan 1000mg-2000mg seharinya?
Jaw : Sekali minum = 5 / 5 + 12 X 250mg-500mg
=73.5 mg – 147 mg
Seharinya = 5 / 5 + 12 X 1000mg-2000mg
= 294 mg – 588 mg
BERDASARKAN UMUR
DILLING ( N = UMUR DIATAS 8 TAHUN )
n (umur) / 20 X DM Dewasa
Berapa dosis erithromicin untuk anak 10 tahun ( BB = 15 Kg ) jika dosis lazimnya 250mg-500mg sekali minum dan 1000mg-2000mg seharinya?
Jaw : Sekali minum = 10 / 20 X 250mg-500mg
= 125 mg – 250 mg
Seharinya = 10 / 20 X 1000mg-2000mg
= 500 mg – 1000 mg

Selasa, 18 Agustus 2009

HEPATITIS

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hepatitis virus akut merupakan penyakit infeksi yang penyebarannya luas dalam tubuh walaupun efek yang menyolok terjadi pada hepar. Telah ditemukan 5 kategori virus yang menjadi agen penyebab yaitu Virus Hepatits A (HAV), Virus Hepatitis B (HBV), Virus Hepatitis C (HVC), Virus Hepatitis D (HVD), Virus Hepatitis E (HVD).
Walaupun kelima agen ini dapat dibedakan melalui petanda antigeniknya, tetapi kesemuanya memberikan gambaran klinis yang mirip, yang dapat bervariasi dari keadaan sub klinis tanpa gejala hingga keadaan infeksi akut yang total.
Bentuk hepatitis yang dikenal adalah HAV ( Hepatitis A ) dan HBV (Hepatitis B). kedua istilah ini lebih disukai daripada istilah lama yaitu hepatitis infeksiosa dan hepatitis serum, sebab kedua penyakit ini dapat ditularkan secara parenteral dan non parenteral.
Hepatitis virus yang tidak dapat digolongkan sebagai Hepatitita A atau B melalui pemeriksaan serologi disebut sebagai Hepatitis non-A dan non-B (NANBH) dan saat ini disebut Hepatitis C (Dienstag, 1990). Selanjutnya ditemukan bahwa jenis hepatitis ini ada 2 macam, yang pertama dapat ditularkan secara parenteral ( Parenterally Transmitted ) atau disebut PT-NANBH dan yang kedua dapat ditularkan secara enteral ( Enterically Transmitted ) disebut ET-NANBH ( Bradley, 1990; Centers for Disease Control, 1990 ). Tata nama terbaru menyebutkan PT-NANBH sebagao Hepatitis C dan ET-NANBH sebagai Hepatitia E ( Bradley,1990; Purcell, 1990 ).
Virus delta atau virus Hepatitis D ( HDV ) merupakan suatu partikel virus yang menyebabnk.jkan infeksi hanya bila sebelumnya telah ada infeksi Hepatitis B, HDV dapat timbul sebagai infeksi pada seseorang pembawa HBV.
Hepatitis menjadi masalah kesehatan masyarakat yang penting tidak hanya di Amerika tetapi juga diseluruh Dunia. Penyakit ini menduduki peringkat ketiga diantara semua penyakit menular yang dapat dilaporkan di Amerika Serikat (hanya dibawah penyakit kelamin dan cacar air dan merupakan penyakit epidemi di kebanyakan negara-negara dunia ketiga. Sekitar 60.000 kasus telah dilaporkan ke Center for Disease Control di Amerika Serikat setiap tahun, tetapi jumlah yang sebenarnya dari penyakit ini diduga beberapa kali lebih banyak. Walaupun mortalitas akibat hepatitis virus ini rendah, tetapi penyakit ini sering dikaitkan dengan angka morbiditas dan kerugian ekonomi yang besar.
B. Tujuan Penulisan
Mahasiswa dapat mengerti apa yang dimaksud dengan ganguan sistem pencernaan : hepatitis


BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN
Hepatitis adalah Suatu peradangan pada hati yang terjadi karena toksin seperti; kimia atau obat atau agen penyakit infeksi (Asuhan keperawatan pada anak, 2002; 131)
Hepatitis adalah keadaan radang/cedera pada hati, sebagai reaksi terhadap virus, obat atau alkohol (Ptofisiologi untuk keperawatan, 2000;145)

B. ETIOLOGI
a. Hepatitis A
i. Virus hepetitis A (HAV) terdiri dari RNA berbentuk bulat tidak berselubung berukuran 27 nm
ii. Ditularkan melalui jalur fekal – oral, sanitasi yang jelek, kontak antara manusia, dibawah oleh air dan makanan
iii. Masa inkubasinya 15 – 49 hari dengan rata – rata 30 hari
iv. Infeksi ini mudah terjadi didalam lingkungan dengan higiene dan sanitasi yang buruk dengan penduduk yang sangat padat.

b. Hepetitis B (HBV)
i. Virus hepatitis B (HBV) merupakan virus yang bercangkang ganda yang memiliki ukuran 42 nm
ii. Ditularkan melalui parenteral atau lewat dengan karier atau penderita infeksi akut, kontak seksual dan fekal-oral. Penularan perinatal dari ibu kepada bayinya.
iii. Masa inkubasi 26 – 160 hari dengan rata- rata 70 – 80 hari.
iv. Faktor resiko bagi para dokter bedah, pekerja laboratorium, dokter gigi, perawat dan terapis respiratorik, staf dan pasien dalam unit hemodialisis serta onkologi laki-laki biseksual serta homoseksual yang aktif dalam hubungan seksual dan para pemaki obat-obat IV juga beresiko

c. Hepatitis C (HCV)
i. Virus hepatitis C (HCV) merupakan virus RNA kecil, terbungkus lemak yang diameternya 30 – 60 nm.
ii. Ditularkan melalui jalur parenteral dan kemungkinan juga disebabkan juga oleh kontak seksual.
iii. Masa inkubasi virus ini 15 – 60 hari dengan rata – 50 hari
iv. Faktor resiko hampir sama dengan hepetitis B

d. Hepatitis D (HDV)
i. Virus hepatitis B (HDP) merupakan virus RNA berukuran 35 nm
ii. Penularannya terutama melalui serum dan menyerang orang yang memiliki kebiasaan memakai obat terlarang dan penderita hemovilia
iii. Masa inkubasi dari virus ini 21 – 140 hari dengan rata – rata 35 hari
iv. Faktor resiko hepatitis D hampir sama dengan hepatitis B.


e. Hepattitis E (HEV)
i. Virus hepatitis E (HEV) merupakan virus RNA kecil yang diameternya + 32 – 36 nm.
ii. Penularan virus ini melalui jalur fekal-oral, kontak antara manusia dimungkinkan meskipun resikonya rendah.
iii. Masa inkubasi 15 – 65 hari dengan rata – rata 42 hari.
iv. Faktor resiko perjalanan kenegara dengan insiden tinggi hepatitis E dan makan makanan, minum minuman yang terkontaminasi.

C. INSIDEN
1) Hepetitis A
Penyakit endemik dibeberapa bagian dunia, khususnya area dengan sanitasi yang buruk. Walaupun epidemik juga terjadi pada negara – negara dengan sanitasi baik.

2) Hepatitis B
Ditemukan dibeberapa negara insidennya akan meningkat pada area dengan populasi padat dengan tingkat kesehatan yang buruk.

3) Hepatitis C
90 % kasus terjadi akibat post transpusi dan banyak kasus sporadik, 4 % kasus hepatitis disebabkan oleh hepatitis virus dan 50 % terjadi akibat penggunaan obat secara intra vena

4) Hepatitis D
Selalu ditemukan dengan hepatitis B, delta agent adalah indemik pada beberapa area seperti negara mediterania, dimana lebih dari 80 % karier hepatitis B dapat menyebabkan infeksi

5) Hepatitis E
Adalah RNA virus yang berbeda dari hepatitis A dan eterovirus biasanya terjadi di India, Birma, Afganistan, Alberia, dan Meksiko.

D. PATHOFISIOLOGI
Virus hepatitis yang menyerang hati menyebabkan peradangan dan infiltrat pada hepatocytes oleh sel mononukleous. Proses ini menyebabkan degrenerasi dan nekrosis sel perenchyn hati.
Respon peradangan menyebabkan pembekakan dalam memblokir sistem drainage hati, sehingga terjadi destruksi pada sel hati. Keadaan ini menjadi statis empedu (biliary) dan empedu tidak dapat diekresikan kedalam kantong empedu bahkan kedalam usus, sehingga meningkat dalam darah sebagai hiperbilirubinemia, dalam urine sebagai urobilinogen dan kulit hapatoceluler jaundice.
Hepatitis terjadi dari yang asimptomatik samapi dengan timbunya sakit dengan gejala ringan. Sel hati mengalami regenerasi secara komplit dalam 2 sampai 3 bulan lebih gawat bila dengan nekrosis hati dan bahkan kematian. Hepattis dengan sub akut dan kronik dapat permanen dan terjadinya gangguan pada fungsi hati. Individu yang dengan kronik akan sebagai karier penyakit dan resiko berkembang biak menjadi penyakit kronik hati atau kanker hati


E. MANISFESTASI KLINIK
Menifestasi klinik dari semua jenis hepatitis virus secara umum sama. Manifestasi klinik dapat dibedakan berdasarkan stadium. Adapun manifestasi dari masing – amsing stadium adalah sebagai berikut.
1. Stadium praicterik berlangsung selama 4 – 7 hari. Pasien mengeluh sakit kepala, lemah, anoreksia, muntah, demam, nyeri pada otot dan nyeri diperut kanan atas urin menjadi lebih coklat.
2. Stadium icterik berlangsung selama 3 – 6 minggu. Icterus mula –mula terlihat pada sklera, kemudian pada kulit seluruh tubuh. Keluhan – keluhan berkurang, tetapi klien masih lemah, anoreksia dan muntah. Tinja mungkin berwarna kelabu atau kuning muda. Hati membesar dan nyeri tekan.
3. Stadium pascaikterik (rekonvalesensi). Ikterus mereda, warna urin dan tinja menjadi normal lagi. Penyebuhan pada anak – anak menjadi lebih cepat pada orang dewasa, yaitu pada akhir bulan ke 2, karena penyebab yang biasanya

F. PENATALAKSANAAN KLINIS
Tidak ada terpi sfesifik untuk hepatitis virus. Tirah baring selama fase akut dengan diet yang cukup bergizi merupakan anjuran yang lazim. Pemberian makanan intravena mungkin perlu selama fase akut bila pasienterus menerus muntah. Aktivitas fisik biasanya perlu dibatasi hingga gejala-gejala mereda dan tes fungsi hati kembali normal.

G. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Biodata.
 Identitas.
- Identitas klien meliputi, nama, umur, agama, jenis kelamin, pendidikan, tanggal masuk rumah sakit, tanggal pengkajian, No register, dan dignosa medis.
- Identitas orang tua yang terdiri dari : Nama Ayah dan Ibu, agama, alamat, pekerjaan, penghasilan, umur, dan pendidikan terakhir.
- Identitas saudara kandung meliputi : Nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, dan hubungan dengan klien.


b. Keluhan utama
Keluhan anak sehingga anak membutuhkan perawatan. Keluhan dapat berupa nafsu makan menurun, muntah, lemah, sakit kepala, batuk, sakit perut kanan atas, demam dan kuning

c. Riwayat kesehatan
1. Riwayat Kesehatan Sekarang
Gejala awal biasanya sakit kepala, lemah anoreksia, mual muntah, demam, nyeri perut kanan atas

2. Riwayat Kesehatan Masa lalu
Riwayat kesehatan masa lalu berkaitan dengan penyakit yang pernah diderita sebelumnya, kecelakaan yang pernah dialami termasuk keracunan, prosedur operasi dan perawatan rumah sakit serta perkembangan anak dibanding dengan saudara-saudaranya

3. Riwayat kesehatan keluarga
Berkaitan erat dengan penyakit keturunan, riwayat penyakit menular khususnya berkaitan dengan penyakit pencernaan.

2. Diagnosa keperawatan yang lazim muncul .
a. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan umum.
b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kegagalan masukan metabolik, anoreksia, mual/muntah.
c. Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan yang berlebihan melalui muntah dan diare.
d. Isolasi sosial berhubungan dengan perawatan isolasi.
e. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan pertahanan primer tidak adekuat.
f. Resiko infeksi pada orang lain berhubungan dengan kontak pada anak yang terinfeksi.
g. Resiko tinggi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan akumulasi garam empedu dalam jaringan.
h. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi dengan proses penyakit.
i. Hipertermi berhunbungan dengan proses infeksi.
j. Diare berhubungan dengan peningkatan peristaltik usus.
k. Konstipasi berhubungan dengan kurangnya aktifitas.
l. Nyeri berhubungan dengan kerusakan jaringan hepar.
m. Kehilangan kontrol berhubungan dengan perubahan aktifitas rutin.